khohar

khohar
naruto

khohar

khohar
lucu

Minggu, 18 Desember 2011

pelangi cinta 6

Pelangi Cinta (#6) FIKSI | 30 November 2011 | 05:44 157 6 13226059561364550761 Rio muncul di kamarku dengan aroma tubuh yang wangi. Aku menatapnya. Mungkin tatapanku terlihat aneh hingga dia tersenyum geli. “ Kamu seperti orang yang belum tidur, sayang. Benar ya?” aku mengangguk lesu. Kubaringkan lagi tubuhku setelah sebelumnya aku bangun untuk membuka pintu. “ Bentar lagi aku berangkat. Jangan suka begadang. Terlalu serius bekerja kamu malah nggak tidur semalaman.” Rio duduk di sampingku. Apakah dia tahu saat ini pikiranku benar-benar kacau? Bagaimana seandainya dia tahu aku tidak tidur karena memikirkan dia dan Evan? Haruskah aku memberitahu beban yang sedang menyelimuti hatiku? Pesan sms masuk di hapeku. Dari Evan. Segera kubaca. Dewi menanti jawabanku. Saya menanti jawaban mbak. SEKARANG! Aku terlonjak kaget. Rio yang melihatku lebih heran lagi. “ Ada apa, sayang? Ada masalah?” aku menggeleng sambil menatapnya pilu. Batinku tak kuasa mengucapkan kata-kata yang akan menyakitkan Rio, tapi aku juga tak sanggup jika harus kehilangan Evan. Aku tak sanggup menahannya. Yang aku tahu, perasaanku pada Evan berbeda ketika pertama kali aku menjalin hubungan dengan Rio. Mungkin ini cinta sesaat. Tapi bagaimana jika itu adalah rasa hatiku yang sesungguhnya. Akankah aku sanggup bertahan menjalani hidup dengan Rio? “ Aku..aku…aku…minta maaf..” kataku akhirnya dengan terbata-bata. Rio terlihat bingung. “ Minta maaf? Kamu salah apa hingga harus minta maaf?” aku menangis. Kututup wajahku dengan ke dua tanganku. “ Aku..aku…merasa…aku..mencintai orang lain, bukan dirimu.” Akhirnya beban yang menekan perasaanku telah keluar. Aku merasa lega. Airmataku kian deras mengalir. Kulihat Rio terdiam. Dia menggeser posisi duduknya agak menjauh dariku. Kunanti dengan cemas apa yang akan dia katakan. Beberapa saat dia hanya menghela nafas. Tak berbicara membuatku khawatir. “ Aku..aku…minta maaf tidak bisa menikah denganmu.” Lanjutku tanpa menunggu dia berbicara. “ Inikah alasanmu menunda pernikahan kita? karena sudah ada orang lain yang mengisi hatimu selain aku? Jadi siapa dia yang ternyata lebih baik dari aku? Apa dia Evan?” suara Rio bergetar. Kurasa dia sedang menahan amarahnya. Aku mengangguk. “ Kalau aku memintamu untuk ikut pulang sekarang. Bagaimana?” aku tersentak kaget. Permintaan yang tidak masuk akal. Bagaimana aku harus ikut Rio pulang ke Jakarta dan meninggalkan tugasku disini? “ Aku tidak bisa.” “ Tidak bisa karena pekerjaan atau karena dia?!?” Nada suara Rio meninggi. “ Karena pekerjaan.” “ Bohong! Pasti karena dia kan hingga kamu berat meninggalkan tempat ini?” Rio mulai emosi. Tangisku terhenti karena takut melihat amarahnya. “ Kamu hanya akan melihat dua kenyataan jika menolak ikut denganku.Mendengar kabarku yang sudah wafat di Jakarta atau mengantar jenasahku pulang ke Jakarta. Itukan yang kamu mau? Kalau tidak, kamu pasti tidak akan berani bermain hati dengan dia. Aku tidak akan berbicara lagi. Kutunggu di luar. Kemasi barang-barangmu dan kita berangkat sekarang!” Suara Rio terdengar tegas. Dia beranjak keluar tanpa sedikitpun menoleh melihatku. Suara pintu yang dibanting dengan keras membuatku ketakutan. Kata-katanya sebelum keluar seperti ultimatum yang harus aku laksanakan. Aku gemetar saat mendengar ancamannya. Benarkah dia akan bunuh diri? Apakah kenyataan itu yang nanti akan terjadi jika aku menolak ikut dengannya? Aku bergidik ngeri. Bagaimana seandainya itu benar terjadi? Semua orang pasti menyalahkan aku sebagai penyebabnya. Tapi bagaimana dengan pekerjaanku disini? Bukankah tugasku belum selesai. Bagaimana aku harus menjelaskan kepada pimpinan di Jakarta. Sungguh tidak profesional karena aku mencampur adukkan antara pekerjaan dan urusuan pribadi. Apa tanggapan Pak Lesmana nanti? Apakah dia akan mengerti dan memahami kesulitanku? Aku makin panik. Bayangan wajah Evan melintas berkelebat dalam pandanganku. Wajah Rio yang marah mengikuti. Aku nyaris limbung saat berusaha untuk berdiri. Tenaga kurasakan habis hingga tak sanggup untuk mengemasi pakaianku. Aku terduduk di lantai. Tubuhku lunglai bersandar di tempat tidur.Kali ini air mataku kembali menetes. “ Evan, maafkan aku. Maafkan aku.” Gumamku pedih. Rio memang tidak marah secara berlebihan tapi ancamannya membuatku takut. Kalau aku menolak mungkin akan terjadi hal yang lebih mengerikan. Rio akan bunuh diri sementara Evan bisa juga terkena imbas dari perbuatanku. Dia mungkin akan di pecat dari pekerjaannya. Mengingat Evan membuat tenagaku pulih. Aku tidak ingin dia mendapat masalah karena perbuatanku. Rio bisa saja melakukan hal-hal gila jika semua sudah diluar kesadarannya. Kukemasi pakaianku. Setelah mencuci muka aku berganti pakaian dengan cepat. Aku berdandan seperti biasa agar tak ada yang curiga. Sudah kusiapkan alasan agar Salim yang menggantikanku untuk sementara karena aku harus menyelesaikan masalahku dengan Rio. Aku menarik nafas beberapa kali sebelum membuka pintu. Kulihat Rio duduk di teras menghadap ke kamarku. Saat melihatku keluar dia segera berbalik menghadap ke jalan raya. Sambil berjalan menuju kamar Salim aku berharap bertemu dengan Evan. Aku ingin memberi pesan terakhir. Tapi sepertinya Evan tidak keluar kamar. Hingga aku masuk ke kamar Salim, Evan tidak juga terlihat. “ Aku titip teman-teman, ya mas Salim. Ada masalah keluarga di Jakarta yang harus aku selesaikan. “ Salim kaget saat mendengar ucapanku. “ Jadi kapan mbak Febi bisa kembali ke sini? Kalau tidak bisa balik, maka harus ada pengganti mbak.” “ Sabarlah. Nanti aku yang akan membicarakan itu dengan pimpinan di Jakarta. Kalau memang tidak bisa, aku titip semua laporan ini ke mas Salim. Tolong mas Salim pelajari. Antisipasi jika tak ada orang yang bisa menganggantikan aku disini. Kalau ada hal yang tidak mas Salim mengerti. Jangan sungkan untuk menelpon.” Kutinggalkan kamar Salim dengan menahan kepedihan. Airmataku nyaris menetes seandainya aku tidak buru-buru pergi. Kupandangi kamar Evan yang tidak juga terbuka. Aku tidak mungkin mengetuknya. Rio bisa melihatku dan amarahnya bisa meledak. Langkahku pelan menuju teras. Tak ada teman-teman. Seperti biasa, mereka sibuk membenahi laporan. Hari masih pagi. Baru juga jam tujuh. Wajar jika mereka masih diam di dalam kamar. “ Kita berangkat sekarang.” Ucap Rio. Dia meraih ranselku lalu melangkah menuju pinggir jalan untuk menahan angkot. Jika dalam keadaan normal, maka bus akan menjemput di penginapan. Tapi karena Rio sedang emosi, dia tidak ingin lebih lama lagi berada di penginapan. Aku tahu, dia ingin menghindari pertemuan antara aku dengan Evan. Hape ku berbunyi pesan sms lagi. Kali ini Rio menatapku tajam. Sepertinya dia sudah curiga itu adalah pesan dari Evan. Dan benar, pesan itu dari Evan. “ Dari dia? Bolehkan aku minta kamu jangan membacanya? Setidaknya hargai aku sebagai tunanganmu kalau kamu tidak ingin menganggap aku sebagai calon suamimu.” “ Apakah membaca sms juga tidak boleh?” kataku kesal. “ Asal bukan dari dia, Aku tidak akan melarangmu. Sudah jelas diantara kalian ada hubungan khusus. Wajar jika aku tidak ingin ada pesan apapun dari dia yang masuk ke hape mu.” Aku akhirnya mematikan handphoneku. Aku bahkan belum sempat membaca sms dari Evan. Angkot menuju perwakilan bus sudah tiba di depan kami. Saat angkot melaju kupandangi penginapan dengan hati pilu. Terutama karena Evan tak tahu tentang kepergianku. Memikirkannya membuat hatiku serasa seperti teriris belati. Sakit sekali. Kupalingkan wajahku menghadap jendela saat kurasakan mataku mulai berkaca-kaca. Aku tidak ingin Rio melihatnya. ( bersambung ) Cerita sebelumnya : 1. Pelangi Cinta 1 2. Pelangi Cinta 2 3. Pelangi Cinta 3 4. Pelangi Cinta 4 5. Pelangi Cinta 5

pelangi cinta 5

Pelangi Cinta (#5) FIKSI | 29 November 2011 | 14:23 131 4 13225506751040437068 Kesedihan yang awalnya akan menemani hari-hariku ternyata tak berumur panjang. Aku akhirnya bisa tersenyum kembali bersama kehadiran Evan di pantai itu. Tak ada kebahagiaan yang bisa membuatku tersenyum selain melihat senyumnya dan tatapannya yang penuh kasih. Kami kembali seperti saat pertama kali mulai bekerja. Namun kali ini berbeda, Evan telah tahu apa yang tersimpan dalam hatiku. Sesuatu yang diharapkan sejak awal. Sayang sekali, aku akhirnya harus menyerah dan mengakui kalau rasa yang ada dalam hatiku adalah miliknya. Tapi hari ke tiga sejak aku resmi menyatakan perasaan pada Evan, terjadi hal diluar perkiraanku. Entah aku mimpi apa semalam, pagi hari saat aku membuka pintu, Rio muncul dengan senyum kerinduan dan langsung memelukku. “ Aku menyusulmu, sayang. Penasaran dengan keindahan laut yang selalu kamu ceritakan.” Ucapnya riang lalu melangkah masuk ke kamar membawa tas kecilnya. Aku yang tak menyangka dirinya akan datang tiba-tiba hanya bisa terpaku. “ Kamarmu lumayan. Ehm, pantas kamu betah disini, suasananya benar-benar sejuk.” Aku bergerak ke depan cermin, mencoba melihat wajahku. Apakah aku tampak pucat dan gugup? Mengapa Rio muncul tiba-tiba tanpa memberitahu aku? “ Kenapa kamu nggak ngomong mau kemari? aku bisa membatalkan kerja hari ini kalau tahu kamu bakal datang.” Rio yang berbaring langsung mengangkat tangannya. “ Nggak usah batal kerja. Ntar aku ikut kamu ke lokasi. Liburku tidak lama, hanya 7 hari. Mungkin hanya hari ini dengan besok aku bisa temani kamu. Tiga hari lagi aku sudah harus ada di bandara.” Pikiranku berkecamuk saat kulihat binar mata Rio yang begitu bersemangat. Bagaimana dengan Evan? Semoga dia bisa menerima kehadiran Rio tanpa rasa cemburu. Karena gugup aku tak sadar kalau sejak tadi belum membalas sms dari Evan. Aku baru menyadarinya saat hapeku dalam genggaman Rio. Cepat ku raih hapeku dari tangannya. Tentu saja dia terkejut melihat sikapmu. “ Kenapa sayang? Apa ada rahasia?” aku menggeleng lalu menekan tuts hape. “ Bukan, tadi aku lupa membalas pesan dari teman.” Jawabku tanpa memandangnya. Syukurlah Rio tidak bertanya lagi. Dia bangun dari pembaringan lalu menyalakan tivi, mencari channel tivi yang menarik. Tayangan berhenti pada acara berita, dia asyik memperhatikan liputan berita yang disajikan stasiun TV yang terkenal khusus membawa acara berita. “ Sayang, udah siap?” jantungku hampir copot saat seseorang menegur persis didekat telingaku. Aku menoleh, Rio juga ikut mendongak. Tanganku yang memegang hape jadi gemetar karena gugup. Aku berdoa semoga Rio tidak mendengar ucapan Evan. Suara tivi yang lumayan besar kuharap bisa menyelamatkan aku dari rasa curiga Rio. Evan mundur setelah melihat ada seseorang dalam kamarku. Dia belum mengenal Rio namun dari sorot matanya, aku tahu dia mulai curiga. “ Eh, maaf. Sudah siap? Bisa berangkat sekarang?” “Iya, eh..Evan..kenalkan ini Rio tunanganku.” Kataku memperkenalkan Rio pada Evan. Rio berdiri lalu mengulurkan tangan. Evan nampak sungkan walau tetap mengulurkan tangannya. Aku yang berdiri di dekat mereka berdua makin cemas. Kuperhatikan dua orang ini secara bergantian. Apa kira-kira yang ada dalam benak mereka. Apakah Rio merasa curiga? “ Rio.” Ucapnya dengan senyum menatap Evan. “ Evan.” Balas Evan dengan senyum manis pula. “ Ehm, kita berangkat sekarang saja, Van. Sayang, siap-siap kita berangkat sekarang.” Evan mengangguk lalu keluar menuju motornya. Kuraih tas ku lalu menanti Rio mengambil tas nya. “ Tempatnya jauh, ya?” tanya Rio saat aku mengunci pintu kamar. Dia memperhatikan Evan yang duduk diatas motornya. “ Lumayan jauh.” “ Dia yang menemani kamu selama disini?” tanya Rio lagi. Arah matanya tetap tertuju ke Evan. “ Iya. Tiap ke lokasi aku bareng sama dia. Yuk..” ajakku. Semula aku berniat untuk menyewa motor lagi. Syukurlah ada teman yang tidak turun ke lokasi hingga motor bisa kami pinjam. Aku akhirnya duduk manis di belakang Rio, sementara Evan mengikuti kami dari belakang. Aku jadi kikuk dan gugup. Pikiranku tetap tertuju pada Evan. Mengingat kecemburuannya pada Farid, akankah rasa itu kembali saat dia melihatku berboncengan dengan Rio? Hari ini berlalu dengan suasana yang menurutku tidak nyaman. Saat kami kembali ke penginapan, wajah Evan murung. Dia memarkir motor lalu masuk ke dalam kamarnya. Sementara aku dan Rio, terus berbincang di kamar. Setelah mandi sore, Rio bahkan mengajakku berkeliling kota dengan naik motor. Saat menikmati pemandangan sore di pelabuhan, hapeku berbunyi sms masuk. Dari Evan. Jangan cemaskan saya, saya gak apa-apa “ Sms dari siapa?” Rio tiba-tiba merangkulku. “ Dari teman.” Kataku gugup. Aku batal mengetik pesan balasan untuk Evan. Ku raih botol minuman dari tangan Rio. Aku butuh sesuatu untuk meredakan kecemasanku. Aku tahu saat ini kondisi Evan jauh dari kata baik. Walau dia mengirim pesan seolah kehadiran Rio tidak berpengaruh untuknya, namun aku yakin dia sedang cemburu. Dia bisa saja berkata-kata dengan bijaksana, namun wajahnya tidak mencerminkan itu. Murung dan kusut saat kami kembali dari lokasi, sudah menjadi gambaran hatinya saat ini. “ Gimana rencana pernikahan kita? Kamu selalu gak bisa di ajak bicara kalau di telpon. Pagi kamu sibuk, malam udah capek. Apa masih sesuai rencana? Kembali dari sini, kita langsung mengurus semuanya. Kamu sudah janji ini tugas terakhir keluar daerah.” Rio menatapku sambil menyentuh lembut tanganku. Ucapannya membuatu tersadar ada rencana pernikahan yang menunggu kami. “ Kalau sesuai tanggal, maka gedung yang sudah aku pesan bisa kita pakai. Aku sudah menghitung jadwal kamu ada di Jakarta. Aku bisa saja meminta keluargaku untuk mengurus semuanya, tapi rasanya lebih nyaman kalau kita yang memilih. Gimana? Kamu setuju kan?” “ Apa harus secepat itu?” “ Kenapa sayang? Bukankah pertunangan kita sebagai langkah awal untuk pernikahan? apa kamu ingin menunda dulu?” Aku tak menjawab. Kehadiran Evan saat ini membuatku tak bisa memberi keputusan. Rio membelai rambutku. “ Aku tidak akan memaksa jika masih ada keraguan dihatimu. Aku mungkin hanya akan sedih jika tahu tunanganku ragu menikah denganku.” “ Aku minta waktu sebulan untuk istrahat. Biarkan aku berpikir. Kamu mengerti kan sayang?” aku membalas menggenggam jemarinya. Terlihat Rio memaksa diri untuk tersenyum. Andai dia tahu keraguan datang menyerangku saat Evan hadir mengisi hari-hariku. Bahkan saat bersamanya sekarang ini, wajah Evan yang sendu membayang di pelupuk mataku. Aku benar-benar bingung dengan perasaanku. Meski baru mengenal Evan, namun sepertinya dia sudah menjadi bagian diriku sejak dulu. Aneh, bukankanh perasaan itu seharusnya kunikmati bersama Rio, mengapa justru Evan. Anak muda yang belum lama kukenal? ** Ke esokan harinya Rio tidak menemaniku ke lokasi. Dia merasa lelah karena seharian menemaniku kemarin. Sebagai toleransi, aku hanya akan ada dilokasi hingga tengah hari, setelah itu kembali untuk menemaninya. “ Mbak harus menentukan pilihan. Dia atau saya..” Evan tak menunggu waktu untuk berbicara. Kami baru beberapa meter meninggalkan penginapan. “ Evan..sekarang ini aku sedang bingung..” kataku mencoba mengalihkan perhatiannya. “ Saya juga bingung. Beberapa hari yang lalu Dewi menanyakan keseriusan saya untuk kembali padanya. Dia sadar hubungannya dengan Farid tak bisa di pertahankan. Banyak hal yang membuatnya menyesal dan ingin hubungan kami kembali seperti dulu.” Aku termenung memikirkan ucapan Evan. “ Mbak Febi harus memutuskan. Dewi juga mendesakku. Semalam saya memikirkan, diantara kita harus ada keputusan secepatnya. Terus terang sekarang ini, perasaan saya lebih berat ke mbak Febi. Tapi saya juga gak mungkin melepaskan kesempatan bersama Dewi. Sejak dulu saya menginginkan hubungan kami kembali utuh. Jika mbak memutuskan ingin bersama saya, maka saya akan meninggalkan impian saya bersama Dewi.” Kata-kata Evan terus terngiang di pikiranku. Aku harus memilih siapa? Apakah aku harus memilih Rio dan menikah dengannya? Tapi rasanya aku tidak siap untuk kehilangan Evan. Satu hal yang pasti, jika aku memutuskan menolaknya, maka Evan akan memilih Dewi dan melupakan aku. Aku makin bingung. Haruskah aku memutuskan ikatan pertunangan dengan Rio? Bagaimana cara mengatakan padanya? Dan apakah aku siap jika dia tidak sanggup menerima kenyataan kalau akhirnya aku ingin perpisahan? Aku benar-benar tidak sanggup memikirkan semua ini dalam waktu bersamaan. Akhirnya karena bingung, aku keluar dari penginapan saat jam menunjukkan pukul 12 malam. Rio tidur di kamar lain. Aku berjalan sendiri menuju teras. Duduk dibawah keremangan lampu. Aku termenung mencoba menenangkan diri. Setengah jam kemudian aku masuk lagi ke kamar. Berusaha untuk tidur meski mataku tak bisa terpejam hingga adzan subuh terdengar. ( bersambung ) Cerita sebelumnya : 1. Pelangi Cinta 1 2. Pelangi Cinta 2 3. Pelangi Cinta 3 4. Pelangi Cinta 4 ___________________________________________________ DESA RANGKAT menawarkan kesederhanaan cinta untuk anda, datang, bergabung dan berinteraksilah bersama kami (Klik logo kami) 13161754563009622 Share * La

pelangi cinta 4

Pelangi Cinta (#4 ) FIKSI | 05 November 2011 | 22:02 119 2 1320505099930750612 Tak ada kegembiraan yang tergambar dari wajah Evan pagi ini. Sejak aku duduk di belakangnya, dia hanya diam dan tak berbicara apapun. “ Bagaimana Dewi?” tegurku saat motornya melaju pelan. “ Susah, mbak. Dewi plin plan. Semalam dia marah, katanya kalau saya masih suka sama dia, seharusnya saya tidak menghabiskan waktu bersama mbak. Tapi kenyataannya, setiap saat dia melihat kita berdua.” “ Hubungannya dengan Farid, bagaimana?” “ Tetap. Dia juga susah melepaskan Farid. Makin lama saya makin bingung dengan sikapnya.” “ Kamu yang harus tegas. Sebagai pihak yang ditinggalkan, seharusnya kamu bisa memberi batas waktu bagi Dewi. Kalau sampai batas waktu itu berakhir, dia belum juga memutuskan akan memilih siapa, kamu harus berbesar hati untuk pergi dari kehidupannya.” Evan terdiam. “ Kamu harus kuat, Van. Dimana harga dirimu? Ditinggalkan tanpa rasa kasihan, kamu masih saja memberikan perhatian yang lebih padanya. Sampai kapan kamu seperti ini? Dunia tidak selebar daun kelor. “ “ Apa mbak siap menerima saya, jika saya putuskan meninggalkan Dewi?” Pertanyaan Evan membuatku tersentak kaget. Aku tidak menjawab pertanyaannya. Bagaimana mungkin aku menerima Evan sementara aku sudah bertunangan? “ Aku..aku..tidak bisa, Van. Aku sudah bertunangan.” Jawabku akhirnya. “ Nah, bagaimana saya bisa meninggalkan Dewi, sementara mbak tidak bersedia menerima saya?” “ Tapi..kenapa harus aku, Van? Banyak kok gadis-gadis yang pasti akan menerima kamu. Kamu kurang apa? Ganteng, kerja mapan. Pasti ada yang akan menerima kamu.” “ Saya hanya ingin mbak, tidak mau yang lain. Kalau mbak tidak bersedia, tolong jangan ungkit lagi masalah Dewi. “ Ucapan Evan yang terdengar dingin membuatku terdiam. Mungkin benar juga apa yang dikatakannya. Aku sebaiknya tidak lagi ikut campur dengan masalahnya, tapi bukankah sejak awal dia yang pertama kali curhat padaku? Hari-hari selanjutnya tak lagi sama. Evan seperti sengaja menghindariku. Dia tidak lagi mendampingiku setiap ke lokasi. Aku mengerti keputusannya namun tidak demikian dengan Salim. Dia nampak marah dan berniat meminta penjelasan pada Evan. “ Ada tugas yang harus dia kerjakan, mas Salim. Jangan khawatir. Aku sudah terbiasa sendiri.” “ Tugas apa? Tugasnya ya menemani mbak,dia tidak punya tugas lain.” “ Sudahlah, kalau kalian ribut, aku yang akan disalahkan. Bisakah kita diamkan saja masalah ini? Aku tidak mau pekerjaan jadi terganggu. Kalau dia berubah pikiran dan ingin menemaniku lagi, terserah dia saja.” Kutinggalkan kamar Salim lalu bergegas mengendarai motor yang selalu di pakai Evan. Sepertinya mulai sekarang, aku harus kembali membiasakan diri untuk mengerjakan semuanya sendiri. Kebiasaan yang nyaris aku tinggalkan karena Evan yang terlalu memberi perhatian padaku. Aku akui ada kemarahan dalam hatiku. Marah karena menganggap Evan belum dewasa. Apa hubungannya aku dengan Dewi? Apa karena tidak ingin menyakiti perasaan Dewi hingga dia memutuskan tidak lagi menjadi pendampingku? Pikiranku menjadi negatif karena kesal pada Evan. Semoga aku bisa segera melepaskan diri dari bayang-bayang Evan yang sudah terlanjur mewarnai hari-hariku. Ternyata aku salah. Beberapa hari tak bersama Evan membuatku tersiksa. Bukan masalah kerja yang membuatku merindukannya. Sikap dan perhatiannya serta canda tawa yang selalu hadir kala kami bersama, membuatku terus mengingatnya. Aku tak sanggup lagi untuk melanjutkan kegiatan di lokasi. Belum tengah hari, aku sudah balik ke penginapan. Aku tiba-tiba merindukannya. Saat kulihat dia duduk sendiri, ada rasa bahagia yang menyelimuti hatiku. Memenuhi seluruh aliran darahku. Aku belum yakin apakah ini cinta ataukah kerinduan biasa. Tapi mana ada kerinduan biasa? Sesuatu yang bernama rindu pastilah ada unsur cinta di dalamnya. Kudekati Evan dengan ragu karena mengira dia akan segera beranjak pergi seperti biasa jika aku berniat mendekatinya. Kali ini dia duduk saja. Tidak ada tanda-tanda bakal meninggalkan tempat duduknya. “ Evan, bisa kita bicara?” Evan menatapku. Dia terlihat tenang. “ Kamu mau menemaniku lagi ke lokasi?” “ Maaf, mbak. Saya udah ada kerjaan dengan Rama. Kami sudah janjian.” Perasaanku saat ini benar-benar tidak nyaman. Memohon benar-benar tidak menyenangkan. “ Oh, begitu. Aku kira kamu tidak ada kegiatan, jadi kutawarkan lagi..” aku berusaha terlihat tegar walau dalam hati rasa kecewa sangat besar. “ Ok, kalo begitu aku ke kamar dulu.” Kataku lalu berbalik, bersiap melangkah menuju kamarku. “ Sebutkan satu alasan, hingga saya harus menemani mbak lagi.” Ucapan Evan membuatku refleks berbalik. “ Harus ada alasan?” Dia mengangguk cepat. “ Karena..karena…aku gak enak kerja sendirian. Terbiasa bersama kamu, jadi lain saat aku sendiri.” “ Hanya itu? Tidak ada yang lain?” “ Maksud kamu alasan apa?” aku makin tidak mengerti. “ Apa ada alasan yang lain? kalau hanya alasan itu, saya lebih baik kerja dengan Rama.” Evan berdiri. Dia menatapku lalu tersenyum sinis. “ Mbak tidak butuh di dampingi. Mbak wanita mandiri, saya permisi dulu.” Evan meninggalkanku lalu masuk ke kamarnya. Susah payah kutahan air mataku yang sejak tadi ingin menetes. Dengan langkah cepat aku menuju kamarku. Kubuka pintu lalu bersandar di pintu. Ada apa denganku? Mengapa penolakan dari Evan membuatku terluka? Bukankah ini lebih baik? Bersamanya berarti memberi harapan yang diingikan Evan. Dia ingin hubungan yang lebih dari sekedar hubungan kerja denganku. Sesuatu yang sulit untuk aku berikan. Tapi perasaan tersiksa ini, sampai kapan sanggup aku tahan? Kesedihanku terus berlanjut walau berusaha aku tepiskan dengan semangat dalam bekerja. Makin dalam aku melibatkan diri dalam kesibukan, ternyata bayangan Evan terus hadir dalam pikiranku. Aku tak bisa melepaskan diri dari pesonanya. Walau tunanganku Rio rajin menelpon dari jauh, tetap saja Evan yang memenuhi pikiranku. Hingga suatu hari aku benar-benar tak sanggup lagi, aku sangat merindukannya. Merindukan kebersamaan kami yang dulu. Aku berhenti di tepi pantai lalu duduk menangis di bebatuan. Air mataku tak sanggup lagi aku tahan. “ Mbak masih ingin membohongi diri sendiri? Mungkin lebih baik menangis disini daripada jujur dengan hati.” Suara seseorang mengagetkanku. Suara yang sangat aku kenal. Suara yang selama berhari-hari ini membuat batinku tidak tenang. Dia Evan. Aku menoleh melihatnya. Dia tiba-tiba saja sudah duduk di sampingku, merangkulku. “ Bagaimana? Masih butuh pendamping? Saya bersedia menemani putri kemana saja.” Ucapnya dengan senyum yang sangat manis. Tatapannya lekat menawarkan kesejukan di hatiku. Benarkah aku jatuh cinta? Batinku seketika tenang saat dia mendekapku.** ( bersambung ) Cerita sebelumnya : 1. Pelangi Cinta 1 2. Pelangi Cinta 2 3. Pelangi Cinta 3 ___________________________________________________ DESA RANGKAT menawarkan kesederhanaan cinta untuk anda, datang, bergabung dan berinteraksilah bersama kami (Klik logo kami) 13161754563009622

pelangi cinta 3

Pelangi Cinta (#3 ) FIKSI | 03 October 2011 | 22:09 114 6 131765383986971699 Tiba di penginapan aku segera masuk ke kamarku. Debar jantungku masih tak beraturan setelah Evan mencium keningku tadi, saat kami di perjalanan. Kupandangi wajahku di depan cermin. Ada apa denganku? Mengapa aku diam saja setelah Evan melakukan itu padaku? Aku tak marah atau protes. Evan juga tak berbicara lagi. Rupanya dia juga sadar dengan perbuatannya. Akhirnya sepanjang jalan kami hanya berdiam diri. Andai debar jantungku bisa berbicara mungkin mereka akan bersaksi betapa aku gelisah sepanjang jalan. Saat hendak membuka pintu kamarku, aku sempat melihat sekilas Evan yang memarkir motornya. Dia terlihat murung. Tidak menoleh hingga masuk ke kamarnya. Aku juga bingung melihatnya. Seharusnya dia meminta maaf bukan malah berdiam diri seperti itu. Aku memilih tidak peduli dan menganggap kejadian itu tak pernah ada. Saat makan malam di warung, kulihat Evan memilih duduk di pojok. Dia duduk sendiri. Diam tak banyak komentar. Kulihat teman-teman juga seperti tak memperhatikan sikap Evan. Mungkin bagi mereka itu hal biasa. “ Jangan dianggap. Dia memang seperti itu.” Suara Salim yang begitu dekat ditelingaku membuatku kaget. Refleks aku berbalik. Ternyata dia mendorong tubuhnya hingga dekat denganku. “ Maksud mas Salim?” tanyaku. Aku bingung dengan ucapannya. “ Sejak Dewi dan Farid pacaran, sikapnya sering aneh-aneh. Kadang dia gembira, kadang murung.” Ucapan Salim membuatku ingat kejadian saat Evan menciumku. Apakah itu juga bagian dari sikapnya yang aneh? Seharian bersamaku dia terlihat gembira. Apa itu gembira yang wajar? Aku belum bisa menebaknya. Mengenalnya saja baru kemarin. Selesai makan aku diam di kamar. Memeriksa semua laporan dari teman-teman membuatku tak bisa keluar kamar. Kudengar suara dari teras penginapan. Sepertinya teman-teman lagi berdiskusi. Aku memilih mengerjakan tugas ketika sms masuk. Dari Evan. Kubuka pesannya dengan perasaan gugup. Aku penasaran dengan apa yang akan dia sampaikan. Mbak Febi, maaf atas kejadian tadi. Saya harap mbak Febi tetap menjadikan saya pendamping dilapangan. Kubalas pesannya.. Jangan khawatir, kamu tetap bisa jadi pendampingku. Tidak ada lagi pesan dari Evan setelah kubalas pesannya. Aku merasakan sesuatu yang lain dalam diriku. Mengapa aku jadi senang menerima pesan dari Evan. Ada rasa lega karena akhirnya dia memulai pembicaraan denganku walau hanya dengan mengirim pesan. Subuh aku terbangun karena bunyi alarm dari hape. Kuperhatikan sesaat layar hapeku. Ternyata Rio semalam menelponku. Mungkin karena tertidur lelap hingga aku tak mendengar dering hapeku. Aku ingin menelpon balik, tapi kemudian aku tersadar. Kami berada di lokasi waktu yang berbeda. Aku tidak ingin mengganggu tidurnya. Selesai sholat subuh aku memilih berjalan-jalan di sekitar penginapan. Hawa pegunungan terasa menyegarkan walau lumayan dingin. Aku menyesal lupa memakai jaket. Dengan mengigil aku memaksa diri menyusuri jalan beraspal. Jalan masih sangat sepi. Hanya beberapa kendaraan yang lalu lalang. Aku tersentak kaget dan menoleh ke samping saat seseorang menempelkan jaket ke tubuhku. Nampak Evan tersenyum dengan manisnya sambil memasang jaket menutupi bahuku. “ Nggak usah, Van. Nggak apa-apa.” Kataku menolak lalu mencoba melepaskan jaket itu. Tapi dia memaksa bahkan merangkulku. “ Jangan menolak. Kan lebih baik mbak pake jaket daripada kedinginan.Iya, kan?” Aku membenarkan ucapannya. Sejak tadi rasa dingin seperti mengigit tulang-tulangku. Cuma aku merasa aneh. Mengapa Evan bersikap sangat mesra. Padahal baru semalam dia nampak murung pasca kejadian dia mencium keningku. Sikapnya memang sulit ditebak. Benar kata Salim, sifat Evan susah untuk ditebak. Kami terus berjalan. Tapi kali ini aku merasa tidak nyaman. Rangkulan Evan membuyarkan semua konsentrasiku. Aku mencoba melepaskan rangkulannya tapi dengan tertawa dia merangkulku lagi. Benar-benar keras kepala. Entah apa yang merasuki pikiran anak ini, batinku gelisah. Suara kendaraan yang mengerem mendadak membuat kami kaget dan refleks berbalik ke belakang. Aku mengira terjadi kecelakaan. Tapi ada hal yang membuatku lebih kaget lagi. Beberapa meter dibelakang kami, nampak Dewi dan Evi sedang jalan berdua. Mereka tak terkejut saat pandangan kami bertemu. Sekali lagi aku melihat tatapan yang aneh dari Dewi. Aku merasa kikuk. Cepat-cepat kulepaskan rangkulan Evan lalu berbalik arah berjalan pulang ke penginapan. Evan juga mengikuti langkahku. Jika tadi langkahku pelan,maka sekarang sengaja kupercepat. Entah mengapa, aku tiba-tiba merasa di manfaatkan Evan. Apakah dia sengaja bersikap mesra padaku karena dia tahu ada Dewi di belakang kami? “ Mbak Febi! Jalannya bisa pelan sedikit? Mengapa terburu-buru?” Evan menarik lenganku. “ Ini sudah hampir pagi. Aku mau mandi baru ke lokasi.” Kataku sambil tetap berjalan. “ Baiklah.” Aku lega karena Evan tak memaksaku lagi. Tiba di kamar aku menyandarkan tubuhku di pintu. Ada apa denganku? Mengapa aku tak bisa menolak jika Evan memberikan perhatian padaku? Seharusnya sebagai supervisor dan perempuan yang telah mempunyai tunangan,aku harus bisa bersikap tegas. Aku bahkan tak bisa menebak apa yang terjadi dengan diriku. **** Sejak tiba di lokasi, aku sibuk berdiskusi dengan aparat desa. Sesekali Evan menimpali pembicaraan kami. Mungkin karena terlalu serius, aku tidak memperhatikan sorot matanya. Aku baru sadar ketika tanpa sengaja mataku menatapnya. Rupanya sejak tadi dia memperhatikan aku berbicara. Senyum manisnya membuatku cepat mengalihkan mata. Penyambutan luar biasa kami terima dari Pak Kades. Hidangan makan siang lumayan mengundang selera makan. Aku merasa terharu atas perhatian yang kami terima hingga tak menyadari posisi duduk aku dan Evan berdekatan. Aku mulai memperhatikannya ketika dia mulai mengambil nasi untukku lalu lauk. Dia juga bertanya hidangan apa yang aku inginkan. Aku yang asyik berbincang dengan Pak Kades hanya mengangguk setuju saat dia menaruh lauk di atas piringku. Dalam hati aku ingin protes tapi tak baik berdebat di depan kepala desa. Bisa saja kami malah dianggap sepasang kekasih. Akhirnya kubiarkan dia berlaku seperti keinginannya. “ Makanannya enak ya,mbak.” Ujar Evan dalam perjalanan pulang. Belum lewat tengah hari tapi tugasku telah selesai. Aku hanya perlu mengolahnya di penginapan. “ Ehm..iya.” Jawabku singkat. Aku berusaha diam dan tak mengajak Evan bicara. Menikmati keindahan alam sepanjang jalan menjadi solusi agar aku terlupa. Syukurlah Evan juga tak berbicara lagi. Dia menjalankan motor dengan cepat seolah ingin segera tiba di rumah. Aku senang tapi kemudian jadi curiga. Cara Evan melarikan motor seperti mengejar sesuatu agar tiba secepatnya. Benar saja. Ketika kami tiba di penginapan dan aku turun dari motor. Evan langsung meninggalkanku tanpa berbicara. Dia berlari menuju kamar Dewi. Aku masih penasaran dan terus memperhatikannya. Pintu terbuka dan Dewi keluar dari kamarnya. Evan lalu mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya. “ Ini, selamat ultah ya.” Ucapnya yang disambut dingin oleh Dewi. Dewi hanya tersenyum tipis saat menerima bingkisan dari Evan lalu menutup pintu kembali. Aku melangkah menuju kamarku setelah melihat kejadian tadi. Jadi itukah alasan Evan ingin cepat tiba di penginapan? Dia ingin memberi ucapan selamat ulang tahun untuk Dewi. Padahal sambutan yang dia terima juga tidak begitu manis. Dewi bahkan langsung menutup pintu tanpa basa basi. Aku tiba-tiba merasa kasihan pada Evan. Cintakah yang membuatmu jadi buta dan membiarkan diri terluka? Apa yang kamu harapkan dari sikap Dewi? Perhatianmu tak mendapat sambutan apa-apa. “ Mbak Febi pernah mencintai seseorang?” Evan tiba-tiba bertanya. Kami berdua saja dalam kamarku. Tadi dia muncul di depan pintu kamarku yang terbuka lalu masuk dan menonton tivi. Aku jadi ingat kejadian saat dia mengucapkan selamat ultah pada Dewi. Kuhentikan memeriksa laporan. Perasaan kasihan membuatku ingin menghiburnya. “ Iya.” Jawabku singkat. “ Mbak pernah ditinggalkan seseorang yang sangat mbak cintai?” “ Belum.” “ Pantas. Mbak tidak bisa merasakan apa yang saya rasakan sekarang. Rasanya sakit sekali. Andai bisa, rasanya saya ingin menarik Dewi dan mengikatnya hingga dia tak bisa pergi lagi.” “ Tapi seperti itu bukan cinta namanya?” “ Saya tidak peduli mbak. Daripada dia pergi bersama orang lain, lebih baik dia terus bersama saya.” “ Tapi dia tersiksa, Evan. Karena dia tidak mencintai kamu lagi?” “ Jadi apa yang saya rasakan,mbak? Apa saya tidak tersiksa? Bukan saya yang pertama mengajak Dewi untuk pacaran. Dia yang mengejar-ngejar saya hingga kemudian saya tertarik. Kenapa awalnya saya tidak peduli? karena saya tahu dia menyukai Farid. Tapi dia terus meyakinkan saya kalau dia tidak peduli lagi dengan Farid. Saya akhirnya luluh apalagi dia terus menangis tidak ingin pisah dengan saya. Sekarang, setelah Farid menerimanya, dia kemudian melempar saya seperti barang yang tidak lagi berharga. Pas dengan lagunya Afgan, sadis. Benar-benar sadis. Herannya saya justru tak bisa melupakannya.” Aku beranjak dari pembaringan. Ucapan Evan membuat hatiku tersentuh. Aku baru tahu kisah yang sebenarnya. Cerita yang aku dengar tidak seperti itu. Ternyata inilah yang menyebabkan Evan sangat terluka. Kalau aku berada diposisinya, pasti akan merasakan hal yang sama. Posisi terabaikan memang tak menyenangkan. Apalagi kalau di lakukan orang yang dulu pernah mengatakan sangat mencintai kita. Teramat pedih jika hanya dijadikan pelarian cinta demi mendapatkan perhatian seseorang. Wajar jika mental Evan jadi tidak stabil. Aku duduk di samping Evan. Dengan lembut aku menepuk bahunya. Tak ada perhatian lain yang bisa aku berikan. Aku hanya ingin membuatnya tenang karena tiba-tiba dia terdiam. Saat aku perhatikan ternyata dia menangis. “ Dewi cinta pertama saya,mbak. Saya nggak pernah pacaran. Sejak dulu saya menyukainya tapi saya menganggap itu hanya hayalan karena dia menyukai Farid. Itulah mengapa ketika dia bilang mencintai saya dan akhirnya memilih untuk pacaran, saya jadi sangat bahagia. Mendapatkan sesuatu yang memang jadi impian, bukankah itu anugrah?” Aku menyimak ucapannya. Menjadi teman curhat mungkin lebih baik bagiku saat ini. Aku jadi makin mengerti akan perasaan Evan yang sebenarnya. “ Tapi sekarang, hatiku sakit sekali mbak. Terluka berat. Kalau tidak ingat susahnya cari kerjaan, mungkin saya sudah keluar dari perusahaan dan mencari kerjaan lain. Benar-benar tersiksa berada satu tempat kerja dan sekarang satu lokasi. Melihat mereka berdua, rasanya saya ingin lari memisahkan mereka. Saya bukan sakit ditinggalkan Dewi, yang saya sesalkan mengapa dulu dia memilih saya dan meyakinkan saya. Bukankah banyak waktu yang saya berikan untuk berpikir sebelum dia mengambil keputusan? Tapi apa jawabnya? Dia yakin memilih saya. Sekarang kenyataannya dia malah memilih Farid. Dasar lidah tidak bertulang.” Aku makin terharu. Ternyata laki-laki juga bisa menangis. Cinta memang tak mengenal jenis kelamin. Jika terluka, siapapun itu bisa menangis. Evan menarik tanganku. Menggenggamnya dengan erat. Aku tak tahu apa maksudnya. Kubiarkan karena menganggap dia sedang sedih. Aku yang larut dalam kesedihan Evan tak menyadari seseorang tengah berdiri menatap kami. Aku baru sadar ketika Evan tiba-tiba terlonjak kaget. “ Dewi!!!” teriaknya lalu berlari keluar mengejar Dewi. Aku hanya bisa terpaku. Mata Dewi yang berkaca-kaca saat menatap kami membuatku merasa aneh. Ada apa dengan anak itu? Sejak aku dekat dengan Evan, sikapnya sangat dingin padaku. Aku merasa dia sengaja menjaga jarak denganku. Entah apa alasannya. Setelah melihat kejadian tadi, aku jadi mengambil satu kesimpulan, mungkinkah Dewi cemburu padaku?*** ( Bersambung ) Cerita sebelumnya : Pelangi Cinta ( 1 ) Pelangi Cinta ( 2 ) ___________________________________________________ DESA RANGKAT menawarkan kesederhanaan cinta untuk anda, datang, bergabung dan berinteraksilah bersama kami (Klik logo kami)

pelangi cinta 2

Pelangi Cinta (#2) FIKSI | 21 September 2011 | 20:36 148 6 13166118591466356396 Malam telah larut ketika kami tiba di penginapan sederhana yang ada di ibu kota propinsi. Walau sederhana kami tidak punya pilihan. Sopir bus tak mungkin terus berkeliling mencari penginapan yang lebih baik lagi. “ Mbak Febi sendirian saja, ya. Biar sisa kamar kami bagi bersama.” Ucap Salim saat menemaniku melihat kamar yang akan kami tempati. “ Kalo gitu, aku minta kamar yang kecil saja. Yang besar bisa kalian tempati rame-rame.” Usulku itu disambut anggukan oleh Salim. Satu persatu barang-barang kami lalu diturunkan dari atas bus. Aku yang terbiasa tugas dilapangan segera mencari tas ku dan siap untuk mengangkatnya ketika sebuah tangan menahan gerakanku. “ Biar aku saja, mbak.” Suara itu membuatku berbalik. Nampak Evan telah memegang tali tas ku lalu membawanya menuju kamar. Dalam hati aku merasa senang dan suprise dengan perhatian yang diberikan Evan. Aku makin kagum dengan solidaritas karyawan kantor cabang yang baru aku tempati. “ Letkkan disitu saja, Van. Makasih ya udah bawain tasku.” Kataku. Evan masih berdiri di sisi meja rias. Dia mengamati sekeliling kamar. Aku yang bingung hanya menatapnya. Dia lalu memeriksa colokan listrik, kabel tivi, menyalakan kipas angin lalu memutar tivi. Keluhan terdengar dari mulutnya saat siaran tivi tak jernih. Begitu juga dengan kipas angin. Sejak di on kan, tidak berfungsi sama sekali. “ Gimana sih ini kamar. Kok fasilitasnya amburadul begini? Ntar ya mbak, aku cari pemiliknya dulu.” Evan lalu keluar kamar. Aku sebenarnya tidak peduli dengan tivi atau dengan kipas angin. Bagiku asal ada tempat untuk merebahkan badan, itu sudah cukup. Terbiasa dilapangan membuatku tidak manja. Aku malah pernah tidak mandi selama tiga hari karena daerah tempatku bertugas tidak ada air bersih untuk mandi. Tidak lama kemudian Evan muncul dengan seorang anak muda. Dia membawa tivi dan kipas angin. Tivi yang ada dikamarku dikeluarkan, begitu juga dengan kipas anginnya. Benar saja. Saat tivi dinyalakan, gambarnya bagus. Kipas angin juga mulai berfungsi. “ Gimana, mbak? Udah nyaman kan? Kalo ada masalah, hubungi saya ya..” Aku terkekeh. Gaya Evan sudah mirip pelayan hotel. “ Iya, nanti aku hubungi.” “ Ok, selamat beristrahat ya, mbak. Saya kekamar dulu.” Ucapnya dengan senyum yang teramat manis. Aku takjub juga dengan sikap pemuda itu. Jika mengingat kondisi hatinya yang sedang terluka, rasanya luar biasa dia bisa tersenyum dengan sangat manisnya. Aku menutup pintu kamar lalu bersiap-siap untuk merebahkan badan. Tubuhku benar-benar remuk setelah sehari semalam hanya duduk dalam bus. Saat hampir terlelap, bunyi pesan singkat terdengar dari hapeku. Segera kubuka, ternyata Rio yang mengirim pesan. Udah dimana,sayang?kamu baik-baik saja kan? Aku tidak membalas pesannya tapi langsung menelpon. Rasanya rindu mendengar suaranya. Lelah yang aku rasakan tiba-tiba menghilang berganti rasa bahagia. Entah berapa lama kami saling melepas rindu, yang pasti saat tersadar aku mendengar Adzan subuh dari mesjid. Rupanya karena kantuk, aku langsung terlelap saat kami sedang berbincang. Aku lalu bangkit dari pembaringan menuju kamar mandi untuk berwudhu. Bersiap-siap melaksanakan sholat subuh. **** Pagi jam delapan tepat, rapat kecil kami adakan di kamar Salim. Aku sengaja memilih kamar itu, karena dari beberapa kamar yang kami tempati hanya kamar Salim yang paling luas. “ Pagi semuanya, kita rileks saja ya, jangan terlalu tegang.” Kataku sambil tersenyum. Wajah teman-teman tak lagi kuyu seperti semalam. Mereka kini nampak segar setelah mandi pagi. Apalagi dengan hantaran teh hangat dan kue dari pemilik penginapan. Makin ceria suasana pagi ini. “ Ok, kita mulai saja, ya. Begini teman-teman, aku tadi sempat berdiskusi dengan Salim. Ternyata ada kesalahan saat kita meeting di Makassar. Ada beberapa wilayah yang ternyata tidak sama dengan peta yang kita lihat. Karena itu pembagian kerja yang sudah di bentuk sebelumnya akan kita ubah.” “ Jadi gimana, mbak? Apa semua berubah?” Evi nampak cemas. “ Tidak semuanya. Hanya wilayah yang sebelumnya kita perkirakan rutenya mulus ternyata berdasarkan info dari Salim, ada beberapa yang tidak bisa ditempuh dengan jalur darat alias kita hanya bisa mencapainya dengan melewati laut. Karena itu bagian yang melewati laut, biar laki-laki saja yang mengerjakan. Rika dan Evi bisa tukaran dengan, Damar dan Agus. Dewi dan Mita tukaran dengan Farid dan Joko. Untuk yang lain aku kira sudah pas. Tidak perlu lagi di ubah.” Aku menyebut nama Farid tanpa menyadari perubahan wajah Dewi. Aku baru sadar beberapa menit kemudian ketika tanpa sengaja menatapnya. Wajahnya yang semula dihiasi senyum dan tawa kini berubah sendu. Tapi aku tidak mengerti mengapa dia terlihat murung. “ Bagaimana? Ada masukan atau kalian semua setuju?” Mereka serempak mengangguk. Kami kemudian berdiskusi untuk memantapkan kerja kami dilapangan. Selesai menggelar rapat, aku kembali ke kamar ketika Evan mengikutiku dari belakang. “ Mbak Febi, bisa minta tolong?” Panggilnya sementara aku membuka pintu kamarku. “ Ada apa, van?” Evan masih berdiri di dekat pintu. “ Apa saya bisa bareng mbak Febi ke lokasi?” “ Maksud kamu, bareng ke lokasimu?” “ Bukan. Seperti tugas-tugas sebelumnya kalau kami ke daerah, ada yang bertugas menemani supervisor di lokasi. Biasanya ketua tim yang menunjuk. Karena itu saya lebih dulu meminta izin sama mbak sebelum mas Salim menunjuk orangnya.” Aku mulai mengerti maksud Evan tapi ini diluar kebiasaanku. Aku terbiasa sendiri. Mendengarkan dia mengusulkan diri membuatku merasa aneh. Aku lalu duduk di pembaringan. Kupandangi sikapnya yang terlihat tegang seperti harap-harap cemas menanti keputusanku. “ Apa menurutmu Salim akan menunjuk orang lain?” Evan mengangguk cepat. “ Biasanya mas Salim akan menunjuk Rama.” “ Lalu mengapa sekarang kamu mencalonkan diri?” Evan terdiam beberapa saat. Dia seperti bingung menjawab pertanyaanku. “ Karena saya mau melindungi diri saya mbak.” Aku tersenyum walau tidak mengerti. Rasanya lucu mendengar jawaban Evan. “ Melindungi diri dari siapa? Apa ada orang yang mau mencelakai kamu?” tanyaku masih tetap tersenyum. “ Melindungi diri dari amarah. Kalau bersama mbak, saya berharap bisa lebih tenang. Sejak kita ngobrol di bus, saya merasa tenang. Saya takut karena akhir-akhir ini emosi saya tidak stabil.” “ Oke. Aku nggak pengen membahas ini lebih lama. Nanti saja kamu jelaskan masalah kamu. Jadi apa yang bisa aku bantu?” “ Ehm..mbak Febi ngomong langsung ke mas Salim kalau mbak udah nunjuk saya jadi pendamping mbak di lokasi.” Aku berdiri. Kudekati dan kutepuk pundaknya. “ Kamu tenang saja, ya. Nanti aku sampaikan. Oh, ya berarti mulai sekarang kita udah patner. Kamu bisa temani aku ke lokasi kan?” Evan terlihat senang. Dengan cepat dia berlari menuju kamarnya sementara aku meraih tas dan jaket lalu keluar dari kamar. Setelah menngunci pintu kamar aku melangkah menuju kamar Salim. Aku terpaku sejenak saat kulihat Dewi masih berada di kamar Salim. Dia menoleh sekilas melihatku. “ Saya kekamar dulu, ya mas Salim, mbak Febi.” Pamitnya lalu lewat didepanku. “ Apa aku tidak salah lihat, mas Salim? Kok Dewi kelihatan murung? Tadi pagi sebelum rapat dia masih tertawa, kok sekarang jadi sendu begitu?” tanyaku sambil melangkah masuk ke kamar Salim. “ Biasa mbak. Pasangan jiwanya terlempar jauh. Dia maunya sama-sama terus. Saya juga tadi kaget waktu mbak sebut nama Farid tapi saya setuju kok. Biar ketenangan tercipta. Coba mbak bayangkan kalau setiap hari, Evan melihat pemandangan yang membuat cemburunya sampai ke ubun-ubun. Bisa terjadi perang saudara.” “ Aku tadi bahkan nggak kepikiran ke sana. Oh, ya mas Salim..aku nunjuk Evan ya jadi partnerku. Katanya yang biasa nunjuk, mas Salim.” “ Oh, tidak apa-apa mbak. Mbak bisa nunjuk siapa saja.” Evan yang muncul di depan pintu membuatku berpaling. Tampilannya berubah. Dengan jaket dan kacamata hitam dia terlihat lebih keren. “ Sudah siap mbak?” tanyanya dengan semangat. Aku mengangguk lalu berdiri. “ Aku kelokasi dulu, ya mas Salim. Kalau ada info penting, cepat hubungi aku.” Kataku sebelum keluar dari kamar Salim. Di halaman depan kamar, Evan sudah duduk manis di atas motor yang khusus kami sewa selama berada di daerah ini. “ Saya suka balap loh, mbak. Jangan segan-segan meluk saya kalau takut.” “ Oh, ya kebetulan. Aku juga kalau naik motor selalu balap. Kita ketemu dong.” Aku tertawa lalu duduk di belakangnya. Kupasang helm yang diberikan Evan padaku. Saat motor berjalan tanpa sengaja pandangan mataku bertemu dengan Dewi yang kebetulan keluar dari kamarnya. Walau tersenyum, tatapan matanya terlihat aneh. Mustahil dia cemburu, pikirku. Evan bukan kekasihnya lagi. Tak ada alasan baginya untuk cemburu. *** Motor terus melaju di dalam kota. Siang hari pemandangan yang tampak sangat berbeda. Aku baru bisa melihat dengan jelas, ternyata begitu banyak penginapan yang kelihatan lebih menarik dari segi bangunan dari yang kami tempati. Sayang sekali malam kemarin kami tidak punya kesempatan untuk mencari yang lebih baik. Aku menyabarkan hati. Setidaknya lokasi penginapan yang kami tempati sekarang jauh dari kebisingan. Alam sekitarnya juga sangat asri. Ada aliran sungai yang menghadirkan suara-suara indah khas pedesaan. Semakin lama jalan yang kami lalui mulai tidak mulus. Perbaikan jalan trans dan jembatan membuat banyak kerikil dan pasir yang menyatu dengan tanah. Jika tidak hati-hati, batu dan debu yang beterbangan bisa mencelakakan. Terlebih saat kami melewati jalan tanah yang berlubang. Aku refleks memegang pinggang Evan karena nyaris terjatuh. “ Pegang saja pinggangku, mbak.” Teriak Evan. Walau risih aku akhirnya tidak melepaskan peganganku pada pinggangnya. Perjalanan terasa sangat melelahkan karena Evan tidak bebas untuk menjalankan motornya dengan kecepatan penuh. Beberapa kali dia mengerem mendadak karena tiba-tiba saja ada lubang yang meleset dari pandangannya. “ Hati-hati, Van. Ini bukan jalan tol.” Kataku bercanda. Dia tertawa. “ Nanti kita istrahat ya, mbak. Paling enak minum kelapa muda.” “ Oh,ya. Dimana? Kamu tahu tempatnya?kan kamu baru disini?” “ Mbak tenang saja. Banyak pohon kelapa berarti banyak kelapa muda.” Kami terus berbincang. Lumayan, agar kami melupakan jalan buruk yang kami lalui. Tak terasa setelah satu jam setengah perjalanan kami akhirnya tiba di lokasi. Lokasi perbukitan yang di sisi kanan nampak jurang dengan latar laut yang indah. Aku terpaku di sisi jurang. Sinar mentari yang menyengat tidak bisa mencegahku menatap keindahan di bawah sana. Keindahan laut dengan pantulan cahaya matahari. Laut yang terdiri dari warna biru. Beberapa lapisan nampak warna hijau. Berdasarkan info yang pernah aku dapatkan. Warna hijau menandakan laut disekitarnya lebih dalam. “ Mbak Febi, kita keatas yuk?” Evan menarik tanganku mengikutinya. Dia membawaku naik ke perbukitan yang lebih tinggi. “ Ayo!” tangannya bersiap meraih tanganku. “ Untuk apa kesana?” tanyaku bingung. Aku masih berdiri di pinggir bukit. Evan hanya tersenyum. Dia menarik tanganku dengan kuat hingga aku bisa menyusulnya ke atas perbukitan. “ Katanya mau makan kelapa muda? Ayo, tadi aku lihat disebelah sana ada bapak lagi turunkan kelapa. Kita beli saja. Kalau diberi gratis ya syukur.” Benar saja. Tidak jauh dari kami, nampak anak kecil sedang memungut kelapa. Evan mendekati anak kecil itu, entah apa yang dia ucapkan. Anak kecil itu mengangguk, lalu berteriak memanggil lelaki yang tengah memanjat kelapa. Tidak lama, berjatuhan kelapa hijau. Anak itu berlari memungutnya lalu menyerahkan sebutir kelapa dan sebilah parang pada Evan. Dengan semangat Evan langsung mengupasnya. Hanya sedikit, dia hanya membuat lubang kecil agar kami bisa meminum airnya. Aku gembira melihat isi kelapa muda yang mengundang selera. Evan memberikan kelapa padaku. Kami lalu bergantian minum air kelapa muda sambil tertawa. “ Hati-hati bajumu, Van. Jangan terkena air kelapa, bisa meninggalkan noda.” Aku mengingatkan. Tapi Evan terlanjur senang. Dia lalu membelah kelapa. Isi kelapa yang tebal membuatku segera mencolek dengan tanganku. “ Pake ini.” Evan memberi irisan kulit kelapa. Dia memperlihatkan contoh agar aku bisa mengikutinya. Ternyata ada teknik alami untuk menyerut isinya jika tak ada sendok. “ Masih mau?” tanya Evan ketika sebutir kelapa telah kami habiskan berdua. Aku mengangguk sambil tersenyum malu. Saat itulah jemari Evan menyentuh ujung bibirku. Aku yang kaget hanya bisa terpaku. Kurasakan seperti ada aliran listrik yang menyetrum seluruh tubuhku walau sekejap. Sementara dia malah tersenyum seolah itu tindakan yang biasa. “ Ada kelapa nempel di bibir, mbak.” Ucapnya lalu berdiri mendekati anak kecil itu lagi. Dia kembali dengan sebutir kelapa. “ Sayang sekali disini tidak ada sedotan ya,mbak. Coba kalo ada. Kita bisa meminum air kelapa ini sama-sama. Romantis seperti di sinetron dan filem-filem.” Aku hanya tertawa padahal dalam hati aku mulai memperhatikan kelakuannya. Aku merasa sikap Evan mulai terasa aneh. Sikapnya seolah-seolah aku ini adalah kekasihnya. Aku tidak ingin geer tapi hatiku seperti membenarkan. Setelah puas menikmati kelapa muda. Kami akhirnya fokus ke pekerjaan. Saat melangkah menuruni bukit, beberapa kali aku hampir terjatuh dan Evan yang sigap menahan tubuhku. Jika saat kami berangkat tadi aku merasa tenang, maka yang terjadi sekarang adalah rasa gugup yang kadang membuatku salah tingkah. Jantungku entah mengapa berdegup sangat cepat. Terutama ketika Evan menggenggam tanganku atau menyentuh bahuku. Aku berusaha mengembalikan sikapku yang normal, namun tetap saja gagal. Sikap Evan yang melindungi dan begitu menjagaku membuatku tersanjung. Sudah lama sekali aku tidak menerima perlakuan seperti itu. Mungkin karena sikapku yang mandiri, jadi tak ada teman atau karyawan yang berani bersikap seperti yang Evan lakukan. Tapi Evan memang berbeda. Walau aku menolak, dia dengan pandai membujukku. Dan dengan sikapnya yang wajar hingga terlihat seperti hal yang biasa. Entah mengapa aku akhirnya menikmati perhatiannya. Aku senang diperlakukan seperti itu. Kami menikmati kebersamaan kami hingga sore menjelang. Saat pulang aku tak ragu lagi memeluk pinggangnya. Bukan karena aku yang menaruh tanganku, melainkan karena Evan yang menarik tanganku hingga memeluk pinggangnya. “ Begini lebih asyik. Boncengan kok seperti musuhan. Orang bakal mengira kita pasangan yang mau cerai kalau jarak kita terlalu jauh.” Kata-katanya membuatku terbahak. “ Kamu bisa saja, Van. Pikiranmu kok sampai sejauh itu..hahahaha…” Aku terus tertawa hingga Evan menjalankan motor. Perjalanan pulang terasa berbeda. Aku merasakan Evan sengaja memperlambat tempo kepulangan kami. Dia menjalankan motor dengan perlahan sekalipun di jalan yang mulus. “ Mbak, aku senang dan bahagia hari ini. Padahal ini hari pertama kita bersama.” Ucapan Evan membuatku tersadar dari kantuk. Kebiasaan buruk yang paling aku takuti adalah aku suka tertidur jika sedang berboncengan. Aku pernah terjatuh dari motor karena tertidur. “ Ehm..kenapa ?” tanyaku. “ Aku merasa damai bersama mbak. Bagaimana kalau aku jatuh cinta sama mbak? Mbak mau kan menerimaku?” Kata-kata yang meluncur cepat dari Evan membuat terdiam. Aku tidak bisa mencari balasan kata selain tersenyum. “ Mbak? Mbak tidak merasa bahagia hari ini?” Aku mengangguk. “ Aku bahagia. Jujur aku senang. Pertama kalinya aku benar-benar bahagia.” Tiba-tiba Evan menghentikan kendaraannya. Dia berbalik lalu mengecup keningku. Semua berlangsung cepat hingga aku merasa seolah sedang bermimpi…. ( Bersambung ) Cerita sebelumnya : Pelangi Cinta (#1) ____________________________________________ DESA RANGKAT menawarkan kesederhanaan cinta untuk anda, datang, bergabung dan berinteraksilah bersama kami (Klik logo kami) 13018350631199293075

pelangi cinta 1

Pelangi Cinta (#1 ) FIKSI | 17 September 2011 | 22:33 178 16 13162725811479094313 Pemuda itu masih duduk diam disebelahku. Sejak tadi dia tidak mengucapkan sepatah katapun.Aku juga segan mengajaknya bicara. Selain karena kami baru saja bertemu, aku juga sedang dilanda kantuk berat. Jadi sejak meninggalkan terminal aku hanya tidur. Setiap kali terbangun kulihat wajah pemuda itu tetap terlihat murung. Aku merasa aneh. Tidakkah dia merasa mengantuk seperti aku? “ Dari tadi kamu batuk-batuk. Mau minuman?” tawarku saat kulihat dia terbatuk-batuk. Dia menggeleng sambil mengeluarkan minuman dari dalam tasnya. “ Makasih.” Jawabnya lalu meminum air langsung dari botolnya. “ Maaf, ya. Aku sejak tadi tidur. Kita belum sempat kenalan. Namaku Febi.” Kuulurkan tanganku. Dia menyambut sambil tersenyum. “ Aku sudah tahu. Mbak Febi adalah senior kami. Rasanya senang bisa kerja bareng dengan mbak. Namaku Evan.” Pemuda itu memperkenalkan diri walau sebenarnya aku telah tahu namanya dari daftar nama dan foto yang diberikan padaku. Aku baru bertemu dengannya hari ini. Kemarin saat masuk kantor pertama kali, aku tidak melihatnya diantara staf yang memberikan ucapan selamat datang padaku. “ Sama-sama. Aku juga sudah lama nggak turun lapangan. Mohon bantuannya ya, terbiasa di kantor pusat, didalam ruangan mungkin nanti aku malah tidak terbiasa.” “ Mbak merendah. Kualitas mbak udah terkenal diseluruh kantor cabang. Makanya saat mbak dikabarkan akan menempati posisi di kantor, kami senang sekali. Ada senior yang bisa memberikan kami ilmu di lapangan.” Aku merasa geli dalam hati. Ini pasti perbuatan Pak Djafar, bagian riset di kantor kami. Dia selalu seperti itu. Tiap kali ada karyawan yang akan di mutasi, dia pasti akan menyebarkan iklan gratis. Tujuannya agar kantor cabang yang menjadi tujuan, begitu gembira menerima karyawan pindahan. “ hehehehe…sama-sama..kita saling berbagi ilmu saja.” Jawabku sambil tersenyum malu karena aku merasa biasa saja, belum bisa dikatakan senior yang berhasil. Prestasiku biasa saja. Hanya setiap kali kantor cabang mempunyai tender proyek yang besar. Akulah yang diturunkan untuk mendampingi. Aku sendiri tidak tahu alasan kantor pusat mengutusku. Aku hanya menjalankan tugas setelah itu pulang kembali ke kantor pusat. Tapi kali ini berbeda. Wajah Pak Lesmana, bosku nampak muram saat mengatakan kepindahanku ke kantor cabang. “ Maafkan aku Febi. Aku bukan mengusirmu. Hanya kamu tahu sendiri, Luki tidak bisa diandalkan. Sejak dia ada di kantor cabang Makassar, prestasinya tidak juga ada peningkatan. Karena itu dia aku tarik agar dia bisa belajar banyak di sini. Untuk sementara kamu yang menggantikan Luki di sana.” Aku menatap pasrah Pak Lesmana. Bukan karena aku dipindahkan ke Makassar, tapi karena aku harus berada jauh dari rumah untuk waktu yang lama. Waktu yang tidak jelas. Berbeda jika mengikuti proyek yang kami jalankan. Ada limit waktu yang bisa aku sampaikan pada Rio, kekasihku. “ Aku bisa pulang ke Jakarta atau kamu yang berkunjung kesana. Bagaimana? Setuju kan sayang?” tanyaku saat melihatnya termenung sesaat setelah aku memberitahu tentang rencana kepindahanku ke Makassar. “ Bukan kepindahanmu yang jadi masalah. Mendadaknya itu yang bikin aku bingung. Gimana kalau sebelum kamu ke Makassar, kita tunangan dulu. Orang tuaku udah siap-siap datang kemari. Kalau udah tunangan, kita tinggal ngurus persiapan pernikahan kita. Gimana?” Aku mengangguk setuju. Rio langsung memelukku. “ Makasih, ya sayang. Aku senang karena tidak lama lagi kita akan menikah.” Pertemuan malam itu terasa indah bagiku dan Rio. Kami akhirnya mengambil keputusan akan masa depan hubungan kami. Sebuah acara pertunangan sederhana di gelar di kediaman orang tuaku. Tak banyak yang hadir. Hanya keluarga terdekat dari kami. Acara sederhana itu terasa begitu hikmat dan bersahaja. Dalam hatiku ada rasa lega karena akhirnya kami resmi bertunangan. Dua hari kemudian aku berangkat ke Makassar. Kota yang tak asing lagi bagiku karena telah berulang kali aku mengunjungi kota ini. Hari pertama tiba aku langsung masuk kerja. Sambutan yang aku terima membuatku langsung bersemangat untuk segera mengisi hari dengan kesibukan. Sekarang aku dalam perjalanan menuju Propinsi yang jaraknya ribuan kilometer dari Makassar. Perjalanan ini terpaksa kami tempuh dengan jalur darat karena transportasi udara tidak selalu ada. Sementara kami mempunyai batas waktu dalam pekerjaan tersebut. Jalan trans yang kami lalui kadang tidak semulus jalan yang ada di perkotaan. Beberapa kali kepalaku kepentok besi jendela bus karena jalanan berlubang. Berulangkali pula aku merasakan sakit dan terpaksa hanya meringis. “ Mbak mau tukeran duduk. Biar aku yang dekat jendela. Mbak duduk di tempatku saja. Aman. Mbak tidak akan merasa sakit karena kepentok besi jendela.” Aku tersenyum menanggapi tawarannya tapi dengan cepat aku menggeleng. Aku tidak terbiasa duduk jauh dari jendela. Setiap kali aku naik kendaraan atau pesawat, aku memilih duduk dipinggir dekat dengan jendela. Rasanya leluasa. Kadang aku merasa sesak jika harus duduk jauh dari jendela. Beberapa waktu kemudian kami terdiam. Sibuk dengan lamunan kami masing-masing. Terlebih aku yang terkenal suka tidur jika dalam perjalanan. Aku akhirnya terlelap lagi dan tidak terpengaruh kondisi jalan yang rusak berat. Rasa kantukku mengalahkan rasa tidak nyaman melewati jalan trans tersebut. “ Mbak Febi, bangun mbak. Turun dulu istrahat, makan.” Suara Evan membangunkanku. Aku melihat keluar jendela. Bus telah terparkir di depan sebuah rumah makan. Rumah makan yang tentu saja berbeda dengan yang biasa aku temui di kota besar seperti Jakarta. Aku merenggangkan tubuh sementara Evan telah berjalan keluar dari bus. “ Kita udah di mana ya, mas? Udah hampir sampai atau belum?” tanyaku pada sopir yang balik lagi ke bus mengambil rokok dan korek api. “ Masih jauh mbak. Masih butuh 7 jam lagi baru kita sampai ke ibu kota propinsi.” “ Ehm..benar-benar jauh ya…” gumamku. Aku lalu turun dari bus dan bergabung dengan teman-teman dari kantor cabang. Mereka ternyata telah memesan makanan untukku. Sesuatu yang unik aku rasakan saat melihat pelayanan yang diberikan di rumah makan ini. Tak ada daftar menu yang biasa ada di rumah makan atau di warung-warung kecil sekalipun. Makanan yang disediakan hanya satu macam. Itupun disediakan dengan gerak cepat berhubung banyaknya penumpang yang singgah untuk beristrahat. Hidangan nasi, ayam goreng, udang dan kentang serta sayur sup dan sambel benar-benar menggugah selera. Aku yang sejak semalam tidak bergairah untuk makan, akhirnya menyantap hidangan tanpa sisa. Baru kali ini aku merasakan makan makanan yang pas. Tidak ada satupun hidangan yang pantas untuk di komentari negatif. Semuanya enak. Jenis makanan dan masakan saling melengkapi rasa masing-masing. Selesai makan, aku keluar duduk-duduk kursi yang ada didepan warung. Pohon rindang yang ada didekatnya, mampu menghalau sinar matahari yang lumayan terik. “ Kamu kenapa? Kok sejak naik bus, aku lihat kamu murung terus Teman-temanmu tertawa dibelakang sementara wajahmu sendu sekali.” Evan melihatku sambil tersenyum. Kami hanya berdua saja duduk di bawah pohon yang rindang ini. “ Bagaimana bisa tersenyum mbak, kalau lagi patah hati.” “ Kamu patah hati? Maafkan mbak kalau begitu. Mbak nggak tau.” “ Seharusnya perjalanan ini adalah pengobat luka hati tapi berhubung penyebab patah hati ikut serta, jadinya luka dihati makin parah.” Aku merasa geli dengan ucapan Evan yang terdengar seperti penyair. Tapi rasanya tidak tega jika harus tersenyum. Lagipula aku juga tidak mengerti dengan maksud dari kalimat-kalimat yang dia ucapkan. “ Maksud kamu, penyebab patah hati?” “ Iya, mbak. Tuh si Dewi yang buat aku jadi patah hati. Sekarang dia pacaran dengan Farid. Mereka tidak segan-segan memamerkan kemesraan di depanku. Aku rasanya mau kabur saja kalau tidak ingat profesionalisme dalam bekerja. Tapi karena harus ikut perintah atasan, terpaksa aku ikut walau dengan batin tersiksa.” Aku jadi tersentuh juga mendengar kisah Evan. Pandanganku kualihkan ke Farid dan Dewi yang sedang berduaan di teras rumah makan. Sejak awal sikap mereka memang mengundang perhatianku. Tapi aku tidak menggubris hingga aku mendengar cerita dari Evan. Rasa ingin tahu membuatku penasaran. Tapi rasa penasaranku tersimpan dalam hati. Aku pikir sekarang bukan waktu yang tepat. Aku dan Evan baru saja bertemu. Tidak etis jika aku harus ikut campur dalam urusan priadinya. Kami lalu melajutkan perjalanan. Jika tadi aku duduk bersebelahan dengan Evan, kali ini Evan pindah ke depan di dekat sopir. Dia duduk berdua dengan seorang gadis. Teriakan menggoda terdengar dari teman-temannya. Aku hanya bisa tertawa menyaksikan tingkah mereka. Tapi insiden tersebut tidak berlangsung lama. Aku kembali tertidur karena rasa kantuk yang langsung hadir. Aku sendiri heran mengapa mudah sekali merasa kantuk saat dalam perjalanan padahal aku sama sekali tidak meminum obat tidur. ***** “ Apa sebaiknya mereka berdua kita tegur saja.” Ucap Salim, salah seorang staff kantor cabang ketika kami beristrahat di sebuah warung kopi. Sopir sengaja menghentikan kendaraan untuk beristrahat setelah dua jam perjalanan. Kami berlima duduk berhadapan di salah satu meja di sudut ruangan dekat jendela. Aku menyimak dengan serius karena masih tidak mengerti dengan kata-kata Salim. Evi mengangguk sambil menyeruput minuman botol dingin yang baru dihidangkan. “ Tapi siapa yang harus menegur? Salah seorang dari kita? Aku nggak mau ikut campur.” “ Aku juga. Itu masalah mereka.” Joko menimpali. “ Tapi kalau dua orang itu sampai berantem, siapa yang tanggung jawab? Selagi bisa dicegah, lebih baik kita cegah. Apa kalian tidak lihat wajah Evan yang mirip banteng siap tarung? Dewi juga nggak sadar dengan perbuatannya. Dia seperti mau manas-manasin Evan.” “ Apa Dewi saja yang kita tegur? Menegur Farid sama saja boong. Anak itu baru merasakan jatuh cinta. Dia fall in love berat sama Dewi. Kalau aku lihat, Dewi yang harus diberi peringatan keras.” Rika akhirnya bersuara setelah sejak tadi terdiam mendengarkan percakapan teman-temannya. “ Maaf, ya. Sebenarnya ada masalah apa? Pembicaraan kalian sejak tadi hanya menyebut nama Evan, Devi dan Farid. Mereka ada masalah apa?” “ Gini mbak, ada masalah cinta segitiga. Evan, Farid dan Dewi. Dewi mutusin sepihak Evan terus pacaran dengan Farid. Sepertinya Evan masih belum terima. Kelihatannya saja dia tenang padahal dia udah hampir berantem dengan Farid.” Aku terkesima mendengar penjelasan Salim. Ternyata masalah mereka tidak sesederhana itu. Ternyata Evan tidak hanya patah hati tapi juga memendam rasa cemburu yang berujung pada kemarahan. “ Ehm..aku ada ide.” Ucap Salim. Aku dan teman-temannya menatap serempak kearahnya. “ Bagaimana kalau mbak Febi yang menasehati Dewi.” Aku terhenyak kaget mendengar ucapan Salim. “ Aku nggak bisa. Aku orang baru nggak tahu masalah yang sebenarnya.” Kataku memberi alasan untuk menolak ide tersebut. “ Tapi mbak Febi adalah atasan kami disini. Usia mungkin kita nggak jauh beda, tapi soal jabatan, mbak adalah supervisor kami.” Balas Salim cepat. Aku terdiam mendengar dia memaparkan alasannya. Akhirnya dengan dukungan sebagian staf, aku menyetujui untuk mendamaikan tiga pihak yang sedang terlibat dalam perang dingin. Sebenarnya ini adalah masalah internal mereka, namun demi menjaga kelancaran tugas kami dilapangan, perdamaian harus segera terwujud. *** ( Bersambung ) Inti cerita akan datang : Aku tidak menyangka malah terlibat dalam cinta segi empat yang seharusnya aku hindari. ____________________________________________ DESA RANGKAT menawarkan kesederhanaan cinta untuk anda, datang, bergabung dan berinteraksilah bersama kami (Klik logo kami) 13018350631199293075

kisah cendrawasih yang terusir

Kisah Cendrawasih yang Terusir 1 [Ceri Belajar Terbang] HL | 04 November 2011 | 00:29 513 126 1320356884805800720 Lesser bird of paradise (Paradisaea minor) Pagi itu, Ceri si anak Cendrawasih bertengger di sebuah dahan kering. Ibunya sudah berjanji tadi malam, bahwa hari ini Ceri akan diajari terbang. Itu memang sudah lama dia inginkan, bisa terbang diudara dengan bebas. “Ibu! Ayo cepat bu, Ceri sudah tidak sabar untuk bisa terbang” Ceri berkata dengan bersemangat. Dia menunggu ibunya dengan cahaya mata yang bersinar, bahkan sebelum ibunya bangun, Ceri sudah menanti terang di dahan pohon itu. Disana dia dengan sabar menanti ibunya yang masih sibuk mempersiapkan sarapan pagi. Perlahan namun pasti, cahaya matahari mulai terlihat di sebelah timur. Sinar dengar warna itu Nampak lembut menyentuh awan, warnanya kuning keemasan diatas langit. Sementara di bagian bawahnya, masih terlihat bayangan gelap hutan yang luas. Pepohonan belum terlihat jelas, hanya pucuknya saja yang masih samar terlihat dibasahi embun pagi. “Nak! Ayo sarapan dulu, supaya kamu nanti tidak kelelahan” Ibu Ceri memanggil, Ceri kemudian dengan sigap melompat. Ibunya tersenyum, karena Ceri terlihat begitu bersemangat. Dan kemudian, setelah berdoa untuk makan, Ceri mematuk papaya segar itu sebagai sarapannya. Ibunya membelai sayap Ceri yang berwarna coklat tua. Sayapnya itu tampak indah dengan perpaduan warna coklat muda diatas punggungnya. Ekornya panjang, dengan warna kuning muda dan putih di ujungnya. Ceri adalah burung yang sangat cantik. Paruh Ceri masih belepotan oleh papaya yang tadi dimakannya, kemudian ibu Ceri membersihkannya. Ceri diam mematung, namun sesekali kepalanya di gerakkan dengan cepat. Dia menggoda ibunya yang sedang membersihkan paruh mungilnya itu. “Jangan nakal! Biar kamu cepat belajar terbang hari ini” Ibu Ceri berkata sambil mematuk kepala Ceri perlahan, dia sangat sayang sama Ceri. Ceri hanya tersenyum sambil menunduk, dia memang suka menggoda ibunya dengan cara seperti itu. Apalagi kalo mau dimandikan, terkadang ibunya sampai kelelahan mengejar Ceri, dia berlari untuk menghindari ibunya yang akan memandikan. “Nah, sekarang sudah terang. Ayo kita belajar terbang” “Asiiik!” Ceri langsung melompat ke sebuah dahan. Disana dia diam memandang pucuk pohon yang ada dibawahnya. Tampak segar sekali dengan embun pagi yang terlihat jernih disinari matahari pagi. Embun pagi masih terlihat, namun sangat tipis dan hampir hilang ditelan hangatnya cahaya matahari pagi itu. Lama Ceri diam disana memandangi begitu luasnya hutan itu. Sesekali dia melihat pucuk pohon yang bergerak, sepertinya beberpa monyet kecil sedang berlarian diatas pohon itu. Ada juga burung-burung kerabat keluarganya yang terlihat terbang. Kicauannya juga sudah mulai terdengar, mereka senang menyambut kehangatan pagi itu. “Bu apa yang harus aku lakukan untuk terbang” Ceri berkata tanpa menoleh, sementara itu ibunya melompat sambil mengepakan sayapnya. Beberapa saat dia berada samping kanan Ceri. Hingga akhirnya dia berdiri memegang dahan yang sama dengan ceri, tepat dua langkah dari tempat Ceri berdiri saat itu. Ceri masih diam memandang ke arah depan. Pandangannya seolah dia sedang merasakan berada diatas pucuk pohon. Terbang bebas dengan sayap dan ekornya yang indah, menikmati kehangatan cahaya matahari diudara. “Melompatlah Ceri, kenapa diam saja. Kamu sudah bisa terbang, ibu sering melihatmu melompat sambil mengepakkan sayap. Kamu sebetulnya sudah bisa terbang, tak perlu belajar lagi nak” Ibu ceri berkata dengan tenang, pandangannya menatap Ceri dari arah samping dengan tajam, Ibunya melihat ada ketakutan di mata Ceri. Ini memang penerbangan perdananya, Ceri belum pernah melompat langsung dari atas pohon setinggi itu. “Tapi bu, aku takut jatuh. Aku belu belajar terbang seperti ibu, dan aku juga belu pernah melompat dari atas pohon setinggi ini” Beberapa saat Ceri terdiam, Ibunya juga tidak berbicara. Kemudian Ceri menoleh kea rah ibunya. Nampak ibunya tersenyum dengan tenang, Ceri tidak terlihat begitu bersemangat seperti tadi. Ceri terlihat ketakutan saat ini. Ibu Ceri kemudian mendekat. Dia membuka sayap kirinya dan memeluk menepuk punggung Ceri perlahan. Kemudian dia mulai mengatur nafas dengan perlahan, dan berkata kepada Ceri dengan sangat tenang. “Ceri!… Kamu adalah Seekor burung nak. Sudah takdirmu untuk bisa terbang, Jangan takut terjatuh. Ibu sudah melihatmu beberapa hari ini, melompat dengan jauh dan kepakan sayap yang lebar. Lihatlah sayapmu ini sudah bisa kau buka dengan lebar, helaian bulunya juga sudah keras dan memiliki kekuatan” Ibu Ceri berhenti berkata, dia membatu ceri membuka lebar sayapnya. Nampak sayap ceri yang indah itu terbuka lebar, Ceri tidak berkata kata. Dia hanya melihat sayapnya yang dibuka itu, kemudian dia membuka sayap sebelah kirinya juga. Beberapa saat dia melihat sayap kiri dan kananya. Kemudian ibunya terdengar berkata lagi. “Melompatlah! Dan buka dengan lebar sayapmu ini Ceri. Ingat! Kepakkan sayapmu jika kamu ingin naik lebih tinggi, dan kendalikan dirimu di udara dengan sayapmu yang kuat ini. Kamu adalah burung, tidak mungkin tidak bisa terbang. Tinggal kamu berani saja mengendalikan semuanya. Jangan takut! Karena ibu akan mengikutimu dari belakang” Mendengar perkataan ibunya itu, Ceri mulai tampak bersemangat lagi. Kini tatapan dengan perasaan takut itu telah sirna dari matanya. Ceri kembali bersemangat untuk memulai penerbangan perdananya. Ceri kemudian membuka sayapnya lebar sekali, hingga ibunya bergesar menjauhi Ceri dua langkah. Ceri sudah bersiap melompat dengan sayap dibuka lebar. Sesaat sebelum Ceri melompat, ibunya berkata. “Kamu adalah burung Ceri, kamu pasti bisa terbang” Seketika itupun Ceri melompat ke arah depan. Dia langsung membuka sayapnya lebar, Ceripun melayang diudara, dia tidak sadar bahwa dirinya semakin turun ke bawah. Hingga terdengar suara ibunya yang mengikuti dari belakang. “Kepakkan sayapmu Ceri, ayo naiklah lebih tinggi!” Seperti terhiponotis, Ceri mengepakkan sayapnya seketika. Dia mulai naik dan menjauhi pucuk pohon yang ada di bawahnya, ibunya kembali berteriak agar Ceri terus naik ke atas. Ceri pun semakin mengepakkan sayapnya untuk terbang lebih tinggi lagi. “Nah sekarang kendaliakan dirimu diudara Ceri! Kamu tidak akan jatuh, puaskanlah penerbangan pertamamu ini. ibu akan mengawasimu dari pucuk pohon” Ceri tersenyum dalam penerbangannya itu. Dia berputar-putar mengelilingi ibunya yang bertengger di sebuah pohon kering. Ceri terlihat berlinang air mata, dia megitu menikmati pemandangan indah dari udara. Hutan luas itu terlihat indah dengan penghuninya yang terlihat menghangatkan badannya pagi itu. Setelah Ceri merasa lelah, kemudian dia mendekati pohon yang ibunya tunjuk tadi. Disana ibunya terlihat tersenyum memandagi Ceri yang sukses dengan penerbangan pertamanya itu. Ibunya terlihat sangat senang sekali. ***O*** Bersambung Sumber gambar disini