khohar

khohar
naruto

khohar

khohar
lucu

Minggu, 18 Desember 2011

pelangi cinta 1

Pelangi Cinta (#1 ) FIKSI | 17 September 2011 | 22:33 178 16 13162725811479094313 Pemuda itu masih duduk diam disebelahku. Sejak tadi dia tidak mengucapkan sepatah katapun.Aku juga segan mengajaknya bicara. Selain karena kami baru saja bertemu, aku juga sedang dilanda kantuk berat. Jadi sejak meninggalkan terminal aku hanya tidur. Setiap kali terbangun kulihat wajah pemuda itu tetap terlihat murung. Aku merasa aneh. Tidakkah dia merasa mengantuk seperti aku? “ Dari tadi kamu batuk-batuk. Mau minuman?” tawarku saat kulihat dia terbatuk-batuk. Dia menggeleng sambil mengeluarkan minuman dari dalam tasnya. “ Makasih.” Jawabnya lalu meminum air langsung dari botolnya. “ Maaf, ya. Aku sejak tadi tidur. Kita belum sempat kenalan. Namaku Febi.” Kuulurkan tanganku. Dia menyambut sambil tersenyum. “ Aku sudah tahu. Mbak Febi adalah senior kami. Rasanya senang bisa kerja bareng dengan mbak. Namaku Evan.” Pemuda itu memperkenalkan diri walau sebenarnya aku telah tahu namanya dari daftar nama dan foto yang diberikan padaku. Aku baru bertemu dengannya hari ini. Kemarin saat masuk kantor pertama kali, aku tidak melihatnya diantara staf yang memberikan ucapan selamat datang padaku. “ Sama-sama. Aku juga sudah lama nggak turun lapangan. Mohon bantuannya ya, terbiasa di kantor pusat, didalam ruangan mungkin nanti aku malah tidak terbiasa.” “ Mbak merendah. Kualitas mbak udah terkenal diseluruh kantor cabang. Makanya saat mbak dikabarkan akan menempati posisi di kantor, kami senang sekali. Ada senior yang bisa memberikan kami ilmu di lapangan.” Aku merasa geli dalam hati. Ini pasti perbuatan Pak Djafar, bagian riset di kantor kami. Dia selalu seperti itu. Tiap kali ada karyawan yang akan di mutasi, dia pasti akan menyebarkan iklan gratis. Tujuannya agar kantor cabang yang menjadi tujuan, begitu gembira menerima karyawan pindahan. “ hehehehe…sama-sama..kita saling berbagi ilmu saja.” Jawabku sambil tersenyum malu karena aku merasa biasa saja, belum bisa dikatakan senior yang berhasil. Prestasiku biasa saja. Hanya setiap kali kantor cabang mempunyai tender proyek yang besar. Akulah yang diturunkan untuk mendampingi. Aku sendiri tidak tahu alasan kantor pusat mengutusku. Aku hanya menjalankan tugas setelah itu pulang kembali ke kantor pusat. Tapi kali ini berbeda. Wajah Pak Lesmana, bosku nampak muram saat mengatakan kepindahanku ke kantor cabang. “ Maafkan aku Febi. Aku bukan mengusirmu. Hanya kamu tahu sendiri, Luki tidak bisa diandalkan. Sejak dia ada di kantor cabang Makassar, prestasinya tidak juga ada peningkatan. Karena itu dia aku tarik agar dia bisa belajar banyak di sini. Untuk sementara kamu yang menggantikan Luki di sana.” Aku menatap pasrah Pak Lesmana. Bukan karena aku dipindahkan ke Makassar, tapi karena aku harus berada jauh dari rumah untuk waktu yang lama. Waktu yang tidak jelas. Berbeda jika mengikuti proyek yang kami jalankan. Ada limit waktu yang bisa aku sampaikan pada Rio, kekasihku. “ Aku bisa pulang ke Jakarta atau kamu yang berkunjung kesana. Bagaimana? Setuju kan sayang?” tanyaku saat melihatnya termenung sesaat setelah aku memberitahu tentang rencana kepindahanku ke Makassar. “ Bukan kepindahanmu yang jadi masalah. Mendadaknya itu yang bikin aku bingung. Gimana kalau sebelum kamu ke Makassar, kita tunangan dulu. Orang tuaku udah siap-siap datang kemari. Kalau udah tunangan, kita tinggal ngurus persiapan pernikahan kita. Gimana?” Aku mengangguk setuju. Rio langsung memelukku. “ Makasih, ya sayang. Aku senang karena tidak lama lagi kita akan menikah.” Pertemuan malam itu terasa indah bagiku dan Rio. Kami akhirnya mengambil keputusan akan masa depan hubungan kami. Sebuah acara pertunangan sederhana di gelar di kediaman orang tuaku. Tak banyak yang hadir. Hanya keluarga terdekat dari kami. Acara sederhana itu terasa begitu hikmat dan bersahaja. Dalam hatiku ada rasa lega karena akhirnya kami resmi bertunangan. Dua hari kemudian aku berangkat ke Makassar. Kota yang tak asing lagi bagiku karena telah berulang kali aku mengunjungi kota ini. Hari pertama tiba aku langsung masuk kerja. Sambutan yang aku terima membuatku langsung bersemangat untuk segera mengisi hari dengan kesibukan. Sekarang aku dalam perjalanan menuju Propinsi yang jaraknya ribuan kilometer dari Makassar. Perjalanan ini terpaksa kami tempuh dengan jalur darat karena transportasi udara tidak selalu ada. Sementara kami mempunyai batas waktu dalam pekerjaan tersebut. Jalan trans yang kami lalui kadang tidak semulus jalan yang ada di perkotaan. Beberapa kali kepalaku kepentok besi jendela bus karena jalanan berlubang. Berulangkali pula aku merasakan sakit dan terpaksa hanya meringis. “ Mbak mau tukeran duduk. Biar aku yang dekat jendela. Mbak duduk di tempatku saja. Aman. Mbak tidak akan merasa sakit karena kepentok besi jendela.” Aku tersenyum menanggapi tawarannya tapi dengan cepat aku menggeleng. Aku tidak terbiasa duduk jauh dari jendela. Setiap kali aku naik kendaraan atau pesawat, aku memilih duduk dipinggir dekat dengan jendela. Rasanya leluasa. Kadang aku merasa sesak jika harus duduk jauh dari jendela. Beberapa waktu kemudian kami terdiam. Sibuk dengan lamunan kami masing-masing. Terlebih aku yang terkenal suka tidur jika dalam perjalanan. Aku akhirnya terlelap lagi dan tidak terpengaruh kondisi jalan yang rusak berat. Rasa kantukku mengalahkan rasa tidak nyaman melewati jalan trans tersebut. “ Mbak Febi, bangun mbak. Turun dulu istrahat, makan.” Suara Evan membangunkanku. Aku melihat keluar jendela. Bus telah terparkir di depan sebuah rumah makan. Rumah makan yang tentu saja berbeda dengan yang biasa aku temui di kota besar seperti Jakarta. Aku merenggangkan tubuh sementara Evan telah berjalan keluar dari bus. “ Kita udah di mana ya, mas? Udah hampir sampai atau belum?” tanyaku pada sopir yang balik lagi ke bus mengambil rokok dan korek api. “ Masih jauh mbak. Masih butuh 7 jam lagi baru kita sampai ke ibu kota propinsi.” “ Ehm..benar-benar jauh ya…” gumamku. Aku lalu turun dari bus dan bergabung dengan teman-teman dari kantor cabang. Mereka ternyata telah memesan makanan untukku. Sesuatu yang unik aku rasakan saat melihat pelayanan yang diberikan di rumah makan ini. Tak ada daftar menu yang biasa ada di rumah makan atau di warung-warung kecil sekalipun. Makanan yang disediakan hanya satu macam. Itupun disediakan dengan gerak cepat berhubung banyaknya penumpang yang singgah untuk beristrahat. Hidangan nasi, ayam goreng, udang dan kentang serta sayur sup dan sambel benar-benar menggugah selera. Aku yang sejak semalam tidak bergairah untuk makan, akhirnya menyantap hidangan tanpa sisa. Baru kali ini aku merasakan makan makanan yang pas. Tidak ada satupun hidangan yang pantas untuk di komentari negatif. Semuanya enak. Jenis makanan dan masakan saling melengkapi rasa masing-masing. Selesai makan, aku keluar duduk-duduk kursi yang ada didepan warung. Pohon rindang yang ada didekatnya, mampu menghalau sinar matahari yang lumayan terik. “ Kamu kenapa? Kok sejak naik bus, aku lihat kamu murung terus Teman-temanmu tertawa dibelakang sementara wajahmu sendu sekali.” Evan melihatku sambil tersenyum. Kami hanya berdua saja duduk di bawah pohon yang rindang ini. “ Bagaimana bisa tersenyum mbak, kalau lagi patah hati.” “ Kamu patah hati? Maafkan mbak kalau begitu. Mbak nggak tau.” “ Seharusnya perjalanan ini adalah pengobat luka hati tapi berhubung penyebab patah hati ikut serta, jadinya luka dihati makin parah.” Aku merasa geli dengan ucapan Evan yang terdengar seperti penyair. Tapi rasanya tidak tega jika harus tersenyum. Lagipula aku juga tidak mengerti dengan maksud dari kalimat-kalimat yang dia ucapkan. “ Maksud kamu, penyebab patah hati?” “ Iya, mbak. Tuh si Dewi yang buat aku jadi patah hati. Sekarang dia pacaran dengan Farid. Mereka tidak segan-segan memamerkan kemesraan di depanku. Aku rasanya mau kabur saja kalau tidak ingat profesionalisme dalam bekerja. Tapi karena harus ikut perintah atasan, terpaksa aku ikut walau dengan batin tersiksa.” Aku jadi tersentuh juga mendengar kisah Evan. Pandanganku kualihkan ke Farid dan Dewi yang sedang berduaan di teras rumah makan. Sejak awal sikap mereka memang mengundang perhatianku. Tapi aku tidak menggubris hingga aku mendengar cerita dari Evan. Rasa ingin tahu membuatku penasaran. Tapi rasa penasaranku tersimpan dalam hati. Aku pikir sekarang bukan waktu yang tepat. Aku dan Evan baru saja bertemu. Tidak etis jika aku harus ikut campur dalam urusan priadinya. Kami lalu melajutkan perjalanan. Jika tadi aku duduk bersebelahan dengan Evan, kali ini Evan pindah ke depan di dekat sopir. Dia duduk berdua dengan seorang gadis. Teriakan menggoda terdengar dari teman-temannya. Aku hanya bisa tertawa menyaksikan tingkah mereka. Tapi insiden tersebut tidak berlangsung lama. Aku kembali tertidur karena rasa kantuk yang langsung hadir. Aku sendiri heran mengapa mudah sekali merasa kantuk saat dalam perjalanan padahal aku sama sekali tidak meminum obat tidur. ***** “ Apa sebaiknya mereka berdua kita tegur saja.” Ucap Salim, salah seorang staff kantor cabang ketika kami beristrahat di sebuah warung kopi. Sopir sengaja menghentikan kendaraan untuk beristrahat setelah dua jam perjalanan. Kami berlima duduk berhadapan di salah satu meja di sudut ruangan dekat jendela. Aku menyimak dengan serius karena masih tidak mengerti dengan kata-kata Salim. Evi mengangguk sambil menyeruput minuman botol dingin yang baru dihidangkan. “ Tapi siapa yang harus menegur? Salah seorang dari kita? Aku nggak mau ikut campur.” “ Aku juga. Itu masalah mereka.” Joko menimpali. “ Tapi kalau dua orang itu sampai berantem, siapa yang tanggung jawab? Selagi bisa dicegah, lebih baik kita cegah. Apa kalian tidak lihat wajah Evan yang mirip banteng siap tarung? Dewi juga nggak sadar dengan perbuatannya. Dia seperti mau manas-manasin Evan.” “ Apa Dewi saja yang kita tegur? Menegur Farid sama saja boong. Anak itu baru merasakan jatuh cinta. Dia fall in love berat sama Dewi. Kalau aku lihat, Dewi yang harus diberi peringatan keras.” Rika akhirnya bersuara setelah sejak tadi terdiam mendengarkan percakapan teman-temannya. “ Maaf, ya. Sebenarnya ada masalah apa? Pembicaraan kalian sejak tadi hanya menyebut nama Evan, Devi dan Farid. Mereka ada masalah apa?” “ Gini mbak, ada masalah cinta segitiga. Evan, Farid dan Dewi. Dewi mutusin sepihak Evan terus pacaran dengan Farid. Sepertinya Evan masih belum terima. Kelihatannya saja dia tenang padahal dia udah hampir berantem dengan Farid.” Aku terkesima mendengar penjelasan Salim. Ternyata masalah mereka tidak sesederhana itu. Ternyata Evan tidak hanya patah hati tapi juga memendam rasa cemburu yang berujung pada kemarahan. “ Ehm..aku ada ide.” Ucap Salim. Aku dan teman-temannya menatap serempak kearahnya. “ Bagaimana kalau mbak Febi yang menasehati Dewi.” Aku terhenyak kaget mendengar ucapan Salim. “ Aku nggak bisa. Aku orang baru nggak tahu masalah yang sebenarnya.” Kataku memberi alasan untuk menolak ide tersebut. “ Tapi mbak Febi adalah atasan kami disini. Usia mungkin kita nggak jauh beda, tapi soal jabatan, mbak adalah supervisor kami.” Balas Salim cepat. Aku terdiam mendengar dia memaparkan alasannya. Akhirnya dengan dukungan sebagian staf, aku menyetujui untuk mendamaikan tiga pihak yang sedang terlibat dalam perang dingin. Sebenarnya ini adalah masalah internal mereka, namun demi menjaga kelancaran tugas kami dilapangan, perdamaian harus segera terwujud. *** ( Bersambung ) Inti cerita akan datang : Aku tidak menyangka malah terlibat dalam cinta segi empat yang seharusnya aku hindari. ____________________________________________ DESA RANGKAT menawarkan kesederhanaan cinta untuk anda, datang, bergabung dan berinteraksilah bersama kami (Klik logo kami) 13018350631199293075

Tidak ada komentar:

Posting Komentar