khohar

khohar
naruto

khohar

khohar
lucu

Minggu, 18 Desember 2011

pelangi cinta 3

Pelangi Cinta (#3 ) FIKSI | 03 October 2011 | 22:09 114 6 131765383986971699 Tiba di penginapan aku segera masuk ke kamarku. Debar jantungku masih tak beraturan setelah Evan mencium keningku tadi, saat kami di perjalanan. Kupandangi wajahku di depan cermin. Ada apa denganku? Mengapa aku diam saja setelah Evan melakukan itu padaku? Aku tak marah atau protes. Evan juga tak berbicara lagi. Rupanya dia juga sadar dengan perbuatannya. Akhirnya sepanjang jalan kami hanya berdiam diri. Andai debar jantungku bisa berbicara mungkin mereka akan bersaksi betapa aku gelisah sepanjang jalan. Saat hendak membuka pintu kamarku, aku sempat melihat sekilas Evan yang memarkir motornya. Dia terlihat murung. Tidak menoleh hingga masuk ke kamarnya. Aku juga bingung melihatnya. Seharusnya dia meminta maaf bukan malah berdiam diri seperti itu. Aku memilih tidak peduli dan menganggap kejadian itu tak pernah ada. Saat makan malam di warung, kulihat Evan memilih duduk di pojok. Dia duduk sendiri. Diam tak banyak komentar. Kulihat teman-teman juga seperti tak memperhatikan sikap Evan. Mungkin bagi mereka itu hal biasa. “ Jangan dianggap. Dia memang seperti itu.” Suara Salim yang begitu dekat ditelingaku membuatku kaget. Refleks aku berbalik. Ternyata dia mendorong tubuhnya hingga dekat denganku. “ Maksud mas Salim?” tanyaku. Aku bingung dengan ucapannya. “ Sejak Dewi dan Farid pacaran, sikapnya sering aneh-aneh. Kadang dia gembira, kadang murung.” Ucapan Salim membuatku ingat kejadian saat Evan menciumku. Apakah itu juga bagian dari sikapnya yang aneh? Seharian bersamaku dia terlihat gembira. Apa itu gembira yang wajar? Aku belum bisa menebaknya. Mengenalnya saja baru kemarin. Selesai makan aku diam di kamar. Memeriksa semua laporan dari teman-teman membuatku tak bisa keluar kamar. Kudengar suara dari teras penginapan. Sepertinya teman-teman lagi berdiskusi. Aku memilih mengerjakan tugas ketika sms masuk. Dari Evan. Kubuka pesannya dengan perasaan gugup. Aku penasaran dengan apa yang akan dia sampaikan. Mbak Febi, maaf atas kejadian tadi. Saya harap mbak Febi tetap menjadikan saya pendamping dilapangan. Kubalas pesannya.. Jangan khawatir, kamu tetap bisa jadi pendampingku. Tidak ada lagi pesan dari Evan setelah kubalas pesannya. Aku merasakan sesuatu yang lain dalam diriku. Mengapa aku jadi senang menerima pesan dari Evan. Ada rasa lega karena akhirnya dia memulai pembicaraan denganku walau hanya dengan mengirim pesan. Subuh aku terbangun karena bunyi alarm dari hape. Kuperhatikan sesaat layar hapeku. Ternyata Rio semalam menelponku. Mungkin karena tertidur lelap hingga aku tak mendengar dering hapeku. Aku ingin menelpon balik, tapi kemudian aku tersadar. Kami berada di lokasi waktu yang berbeda. Aku tidak ingin mengganggu tidurnya. Selesai sholat subuh aku memilih berjalan-jalan di sekitar penginapan. Hawa pegunungan terasa menyegarkan walau lumayan dingin. Aku menyesal lupa memakai jaket. Dengan mengigil aku memaksa diri menyusuri jalan beraspal. Jalan masih sangat sepi. Hanya beberapa kendaraan yang lalu lalang. Aku tersentak kaget dan menoleh ke samping saat seseorang menempelkan jaket ke tubuhku. Nampak Evan tersenyum dengan manisnya sambil memasang jaket menutupi bahuku. “ Nggak usah, Van. Nggak apa-apa.” Kataku menolak lalu mencoba melepaskan jaket itu. Tapi dia memaksa bahkan merangkulku. “ Jangan menolak. Kan lebih baik mbak pake jaket daripada kedinginan.Iya, kan?” Aku membenarkan ucapannya. Sejak tadi rasa dingin seperti mengigit tulang-tulangku. Cuma aku merasa aneh. Mengapa Evan bersikap sangat mesra. Padahal baru semalam dia nampak murung pasca kejadian dia mencium keningku. Sikapnya memang sulit ditebak. Benar kata Salim, sifat Evan susah untuk ditebak. Kami terus berjalan. Tapi kali ini aku merasa tidak nyaman. Rangkulan Evan membuyarkan semua konsentrasiku. Aku mencoba melepaskan rangkulannya tapi dengan tertawa dia merangkulku lagi. Benar-benar keras kepala. Entah apa yang merasuki pikiran anak ini, batinku gelisah. Suara kendaraan yang mengerem mendadak membuat kami kaget dan refleks berbalik ke belakang. Aku mengira terjadi kecelakaan. Tapi ada hal yang membuatku lebih kaget lagi. Beberapa meter dibelakang kami, nampak Dewi dan Evi sedang jalan berdua. Mereka tak terkejut saat pandangan kami bertemu. Sekali lagi aku melihat tatapan yang aneh dari Dewi. Aku merasa kikuk. Cepat-cepat kulepaskan rangkulan Evan lalu berbalik arah berjalan pulang ke penginapan. Evan juga mengikuti langkahku. Jika tadi langkahku pelan,maka sekarang sengaja kupercepat. Entah mengapa, aku tiba-tiba merasa di manfaatkan Evan. Apakah dia sengaja bersikap mesra padaku karena dia tahu ada Dewi di belakang kami? “ Mbak Febi! Jalannya bisa pelan sedikit? Mengapa terburu-buru?” Evan menarik lenganku. “ Ini sudah hampir pagi. Aku mau mandi baru ke lokasi.” Kataku sambil tetap berjalan. “ Baiklah.” Aku lega karena Evan tak memaksaku lagi. Tiba di kamar aku menyandarkan tubuhku di pintu. Ada apa denganku? Mengapa aku tak bisa menolak jika Evan memberikan perhatian padaku? Seharusnya sebagai supervisor dan perempuan yang telah mempunyai tunangan,aku harus bisa bersikap tegas. Aku bahkan tak bisa menebak apa yang terjadi dengan diriku. **** Sejak tiba di lokasi, aku sibuk berdiskusi dengan aparat desa. Sesekali Evan menimpali pembicaraan kami. Mungkin karena terlalu serius, aku tidak memperhatikan sorot matanya. Aku baru sadar ketika tanpa sengaja mataku menatapnya. Rupanya sejak tadi dia memperhatikan aku berbicara. Senyum manisnya membuatku cepat mengalihkan mata. Penyambutan luar biasa kami terima dari Pak Kades. Hidangan makan siang lumayan mengundang selera makan. Aku merasa terharu atas perhatian yang kami terima hingga tak menyadari posisi duduk aku dan Evan berdekatan. Aku mulai memperhatikannya ketika dia mulai mengambil nasi untukku lalu lauk. Dia juga bertanya hidangan apa yang aku inginkan. Aku yang asyik berbincang dengan Pak Kades hanya mengangguk setuju saat dia menaruh lauk di atas piringku. Dalam hati aku ingin protes tapi tak baik berdebat di depan kepala desa. Bisa saja kami malah dianggap sepasang kekasih. Akhirnya kubiarkan dia berlaku seperti keinginannya. “ Makanannya enak ya,mbak.” Ujar Evan dalam perjalanan pulang. Belum lewat tengah hari tapi tugasku telah selesai. Aku hanya perlu mengolahnya di penginapan. “ Ehm..iya.” Jawabku singkat. Aku berusaha diam dan tak mengajak Evan bicara. Menikmati keindahan alam sepanjang jalan menjadi solusi agar aku terlupa. Syukurlah Evan juga tak berbicara lagi. Dia menjalankan motor dengan cepat seolah ingin segera tiba di rumah. Aku senang tapi kemudian jadi curiga. Cara Evan melarikan motor seperti mengejar sesuatu agar tiba secepatnya. Benar saja. Ketika kami tiba di penginapan dan aku turun dari motor. Evan langsung meninggalkanku tanpa berbicara. Dia berlari menuju kamar Dewi. Aku masih penasaran dan terus memperhatikannya. Pintu terbuka dan Dewi keluar dari kamarnya. Evan lalu mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya. “ Ini, selamat ultah ya.” Ucapnya yang disambut dingin oleh Dewi. Dewi hanya tersenyum tipis saat menerima bingkisan dari Evan lalu menutup pintu kembali. Aku melangkah menuju kamarku setelah melihat kejadian tadi. Jadi itukah alasan Evan ingin cepat tiba di penginapan? Dia ingin memberi ucapan selamat ulang tahun untuk Dewi. Padahal sambutan yang dia terima juga tidak begitu manis. Dewi bahkan langsung menutup pintu tanpa basa basi. Aku tiba-tiba merasa kasihan pada Evan. Cintakah yang membuatmu jadi buta dan membiarkan diri terluka? Apa yang kamu harapkan dari sikap Dewi? Perhatianmu tak mendapat sambutan apa-apa. “ Mbak Febi pernah mencintai seseorang?” Evan tiba-tiba bertanya. Kami berdua saja dalam kamarku. Tadi dia muncul di depan pintu kamarku yang terbuka lalu masuk dan menonton tivi. Aku jadi ingat kejadian saat dia mengucapkan selamat ultah pada Dewi. Kuhentikan memeriksa laporan. Perasaan kasihan membuatku ingin menghiburnya. “ Iya.” Jawabku singkat. “ Mbak pernah ditinggalkan seseorang yang sangat mbak cintai?” “ Belum.” “ Pantas. Mbak tidak bisa merasakan apa yang saya rasakan sekarang. Rasanya sakit sekali. Andai bisa, rasanya saya ingin menarik Dewi dan mengikatnya hingga dia tak bisa pergi lagi.” “ Tapi seperti itu bukan cinta namanya?” “ Saya tidak peduli mbak. Daripada dia pergi bersama orang lain, lebih baik dia terus bersama saya.” “ Tapi dia tersiksa, Evan. Karena dia tidak mencintai kamu lagi?” “ Jadi apa yang saya rasakan,mbak? Apa saya tidak tersiksa? Bukan saya yang pertama mengajak Dewi untuk pacaran. Dia yang mengejar-ngejar saya hingga kemudian saya tertarik. Kenapa awalnya saya tidak peduli? karena saya tahu dia menyukai Farid. Tapi dia terus meyakinkan saya kalau dia tidak peduli lagi dengan Farid. Saya akhirnya luluh apalagi dia terus menangis tidak ingin pisah dengan saya. Sekarang, setelah Farid menerimanya, dia kemudian melempar saya seperti barang yang tidak lagi berharga. Pas dengan lagunya Afgan, sadis. Benar-benar sadis. Herannya saya justru tak bisa melupakannya.” Aku beranjak dari pembaringan. Ucapan Evan membuat hatiku tersentuh. Aku baru tahu kisah yang sebenarnya. Cerita yang aku dengar tidak seperti itu. Ternyata inilah yang menyebabkan Evan sangat terluka. Kalau aku berada diposisinya, pasti akan merasakan hal yang sama. Posisi terabaikan memang tak menyenangkan. Apalagi kalau di lakukan orang yang dulu pernah mengatakan sangat mencintai kita. Teramat pedih jika hanya dijadikan pelarian cinta demi mendapatkan perhatian seseorang. Wajar jika mental Evan jadi tidak stabil. Aku duduk di samping Evan. Dengan lembut aku menepuk bahunya. Tak ada perhatian lain yang bisa aku berikan. Aku hanya ingin membuatnya tenang karena tiba-tiba dia terdiam. Saat aku perhatikan ternyata dia menangis. “ Dewi cinta pertama saya,mbak. Saya nggak pernah pacaran. Sejak dulu saya menyukainya tapi saya menganggap itu hanya hayalan karena dia menyukai Farid. Itulah mengapa ketika dia bilang mencintai saya dan akhirnya memilih untuk pacaran, saya jadi sangat bahagia. Mendapatkan sesuatu yang memang jadi impian, bukankah itu anugrah?” Aku menyimak ucapannya. Menjadi teman curhat mungkin lebih baik bagiku saat ini. Aku jadi makin mengerti akan perasaan Evan yang sebenarnya. “ Tapi sekarang, hatiku sakit sekali mbak. Terluka berat. Kalau tidak ingat susahnya cari kerjaan, mungkin saya sudah keluar dari perusahaan dan mencari kerjaan lain. Benar-benar tersiksa berada satu tempat kerja dan sekarang satu lokasi. Melihat mereka berdua, rasanya saya ingin lari memisahkan mereka. Saya bukan sakit ditinggalkan Dewi, yang saya sesalkan mengapa dulu dia memilih saya dan meyakinkan saya. Bukankah banyak waktu yang saya berikan untuk berpikir sebelum dia mengambil keputusan? Tapi apa jawabnya? Dia yakin memilih saya. Sekarang kenyataannya dia malah memilih Farid. Dasar lidah tidak bertulang.” Aku makin terharu. Ternyata laki-laki juga bisa menangis. Cinta memang tak mengenal jenis kelamin. Jika terluka, siapapun itu bisa menangis. Evan menarik tanganku. Menggenggamnya dengan erat. Aku tak tahu apa maksudnya. Kubiarkan karena menganggap dia sedang sedih. Aku yang larut dalam kesedihan Evan tak menyadari seseorang tengah berdiri menatap kami. Aku baru sadar ketika Evan tiba-tiba terlonjak kaget. “ Dewi!!!” teriaknya lalu berlari keluar mengejar Dewi. Aku hanya bisa terpaku. Mata Dewi yang berkaca-kaca saat menatap kami membuatku merasa aneh. Ada apa dengan anak itu? Sejak aku dekat dengan Evan, sikapnya sangat dingin padaku. Aku merasa dia sengaja menjaga jarak denganku. Entah apa alasannya. Setelah melihat kejadian tadi, aku jadi mengambil satu kesimpulan, mungkinkah Dewi cemburu padaku?*** ( Bersambung ) Cerita sebelumnya : Pelangi Cinta ( 1 ) Pelangi Cinta ( 2 ) ___________________________________________________ DESA RANGKAT menawarkan kesederhanaan cinta untuk anda, datang, bergabung dan berinteraksilah bersama kami (Klik logo kami)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar