khohar

khohar
naruto

khohar

khohar
lucu

Minggu, 18 Desember 2011

pelangi cinta 4

Pelangi Cinta (#4 ) FIKSI | 05 November 2011 | 22:02 119 2 1320505099930750612 Tak ada kegembiraan yang tergambar dari wajah Evan pagi ini. Sejak aku duduk di belakangnya, dia hanya diam dan tak berbicara apapun. “ Bagaimana Dewi?” tegurku saat motornya melaju pelan. “ Susah, mbak. Dewi plin plan. Semalam dia marah, katanya kalau saya masih suka sama dia, seharusnya saya tidak menghabiskan waktu bersama mbak. Tapi kenyataannya, setiap saat dia melihat kita berdua.” “ Hubungannya dengan Farid, bagaimana?” “ Tetap. Dia juga susah melepaskan Farid. Makin lama saya makin bingung dengan sikapnya.” “ Kamu yang harus tegas. Sebagai pihak yang ditinggalkan, seharusnya kamu bisa memberi batas waktu bagi Dewi. Kalau sampai batas waktu itu berakhir, dia belum juga memutuskan akan memilih siapa, kamu harus berbesar hati untuk pergi dari kehidupannya.” Evan terdiam. “ Kamu harus kuat, Van. Dimana harga dirimu? Ditinggalkan tanpa rasa kasihan, kamu masih saja memberikan perhatian yang lebih padanya. Sampai kapan kamu seperti ini? Dunia tidak selebar daun kelor. “ “ Apa mbak siap menerima saya, jika saya putuskan meninggalkan Dewi?” Pertanyaan Evan membuatku tersentak kaget. Aku tidak menjawab pertanyaannya. Bagaimana mungkin aku menerima Evan sementara aku sudah bertunangan? “ Aku..aku..tidak bisa, Van. Aku sudah bertunangan.” Jawabku akhirnya. “ Nah, bagaimana saya bisa meninggalkan Dewi, sementara mbak tidak bersedia menerima saya?” “ Tapi..kenapa harus aku, Van? Banyak kok gadis-gadis yang pasti akan menerima kamu. Kamu kurang apa? Ganteng, kerja mapan. Pasti ada yang akan menerima kamu.” “ Saya hanya ingin mbak, tidak mau yang lain. Kalau mbak tidak bersedia, tolong jangan ungkit lagi masalah Dewi. “ Ucapan Evan yang terdengar dingin membuatku terdiam. Mungkin benar juga apa yang dikatakannya. Aku sebaiknya tidak lagi ikut campur dengan masalahnya, tapi bukankah sejak awal dia yang pertama kali curhat padaku? Hari-hari selanjutnya tak lagi sama. Evan seperti sengaja menghindariku. Dia tidak lagi mendampingiku setiap ke lokasi. Aku mengerti keputusannya namun tidak demikian dengan Salim. Dia nampak marah dan berniat meminta penjelasan pada Evan. “ Ada tugas yang harus dia kerjakan, mas Salim. Jangan khawatir. Aku sudah terbiasa sendiri.” “ Tugas apa? Tugasnya ya menemani mbak,dia tidak punya tugas lain.” “ Sudahlah, kalau kalian ribut, aku yang akan disalahkan. Bisakah kita diamkan saja masalah ini? Aku tidak mau pekerjaan jadi terganggu. Kalau dia berubah pikiran dan ingin menemaniku lagi, terserah dia saja.” Kutinggalkan kamar Salim lalu bergegas mengendarai motor yang selalu di pakai Evan. Sepertinya mulai sekarang, aku harus kembali membiasakan diri untuk mengerjakan semuanya sendiri. Kebiasaan yang nyaris aku tinggalkan karena Evan yang terlalu memberi perhatian padaku. Aku akui ada kemarahan dalam hatiku. Marah karena menganggap Evan belum dewasa. Apa hubungannya aku dengan Dewi? Apa karena tidak ingin menyakiti perasaan Dewi hingga dia memutuskan tidak lagi menjadi pendampingku? Pikiranku menjadi negatif karena kesal pada Evan. Semoga aku bisa segera melepaskan diri dari bayang-bayang Evan yang sudah terlanjur mewarnai hari-hariku. Ternyata aku salah. Beberapa hari tak bersama Evan membuatku tersiksa. Bukan masalah kerja yang membuatku merindukannya. Sikap dan perhatiannya serta canda tawa yang selalu hadir kala kami bersama, membuatku terus mengingatnya. Aku tak sanggup lagi untuk melanjutkan kegiatan di lokasi. Belum tengah hari, aku sudah balik ke penginapan. Aku tiba-tiba merindukannya. Saat kulihat dia duduk sendiri, ada rasa bahagia yang menyelimuti hatiku. Memenuhi seluruh aliran darahku. Aku belum yakin apakah ini cinta ataukah kerinduan biasa. Tapi mana ada kerinduan biasa? Sesuatu yang bernama rindu pastilah ada unsur cinta di dalamnya. Kudekati Evan dengan ragu karena mengira dia akan segera beranjak pergi seperti biasa jika aku berniat mendekatinya. Kali ini dia duduk saja. Tidak ada tanda-tanda bakal meninggalkan tempat duduknya. “ Evan, bisa kita bicara?” Evan menatapku. Dia terlihat tenang. “ Kamu mau menemaniku lagi ke lokasi?” “ Maaf, mbak. Saya udah ada kerjaan dengan Rama. Kami sudah janjian.” Perasaanku saat ini benar-benar tidak nyaman. Memohon benar-benar tidak menyenangkan. “ Oh, begitu. Aku kira kamu tidak ada kegiatan, jadi kutawarkan lagi..” aku berusaha terlihat tegar walau dalam hati rasa kecewa sangat besar. “ Ok, kalo begitu aku ke kamar dulu.” Kataku lalu berbalik, bersiap melangkah menuju kamarku. “ Sebutkan satu alasan, hingga saya harus menemani mbak lagi.” Ucapan Evan membuatku refleks berbalik. “ Harus ada alasan?” Dia mengangguk cepat. “ Karena..karena…aku gak enak kerja sendirian. Terbiasa bersama kamu, jadi lain saat aku sendiri.” “ Hanya itu? Tidak ada yang lain?” “ Maksud kamu alasan apa?” aku makin tidak mengerti. “ Apa ada alasan yang lain? kalau hanya alasan itu, saya lebih baik kerja dengan Rama.” Evan berdiri. Dia menatapku lalu tersenyum sinis. “ Mbak tidak butuh di dampingi. Mbak wanita mandiri, saya permisi dulu.” Evan meninggalkanku lalu masuk ke kamarnya. Susah payah kutahan air mataku yang sejak tadi ingin menetes. Dengan langkah cepat aku menuju kamarku. Kubuka pintu lalu bersandar di pintu. Ada apa denganku? Mengapa penolakan dari Evan membuatku terluka? Bukankah ini lebih baik? Bersamanya berarti memberi harapan yang diingikan Evan. Dia ingin hubungan yang lebih dari sekedar hubungan kerja denganku. Sesuatu yang sulit untuk aku berikan. Tapi perasaan tersiksa ini, sampai kapan sanggup aku tahan? Kesedihanku terus berlanjut walau berusaha aku tepiskan dengan semangat dalam bekerja. Makin dalam aku melibatkan diri dalam kesibukan, ternyata bayangan Evan terus hadir dalam pikiranku. Aku tak bisa melepaskan diri dari pesonanya. Walau tunanganku Rio rajin menelpon dari jauh, tetap saja Evan yang memenuhi pikiranku. Hingga suatu hari aku benar-benar tak sanggup lagi, aku sangat merindukannya. Merindukan kebersamaan kami yang dulu. Aku berhenti di tepi pantai lalu duduk menangis di bebatuan. Air mataku tak sanggup lagi aku tahan. “ Mbak masih ingin membohongi diri sendiri? Mungkin lebih baik menangis disini daripada jujur dengan hati.” Suara seseorang mengagetkanku. Suara yang sangat aku kenal. Suara yang selama berhari-hari ini membuat batinku tidak tenang. Dia Evan. Aku menoleh melihatnya. Dia tiba-tiba saja sudah duduk di sampingku, merangkulku. “ Bagaimana? Masih butuh pendamping? Saya bersedia menemani putri kemana saja.” Ucapnya dengan senyum yang sangat manis. Tatapannya lekat menawarkan kesejukan di hatiku. Benarkah aku jatuh cinta? Batinku seketika tenang saat dia mendekapku.** ( bersambung ) Cerita sebelumnya : 1. Pelangi Cinta 1 2. Pelangi Cinta 2 3. Pelangi Cinta 3 ___________________________________________________ DESA RANGKAT menawarkan kesederhanaan cinta untuk anda, datang, bergabung dan berinteraksilah bersama kami (Klik logo kami) 13161754563009622

Tidak ada komentar:

Posting Komentar