khohar

khohar
naruto

khohar

khohar
lucu

Minggu, 18 Desember 2011

pelangi cinta 2

Pelangi Cinta (#2) FIKSI | 21 September 2011 | 20:36 148 6 13166118591466356396 Malam telah larut ketika kami tiba di penginapan sederhana yang ada di ibu kota propinsi. Walau sederhana kami tidak punya pilihan. Sopir bus tak mungkin terus berkeliling mencari penginapan yang lebih baik lagi. “ Mbak Febi sendirian saja, ya. Biar sisa kamar kami bagi bersama.” Ucap Salim saat menemaniku melihat kamar yang akan kami tempati. “ Kalo gitu, aku minta kamar yang kecil saja. Yang besar bisa kalian tempati rame-rame.” Usulku itu disambut anggukan oleh Salim. Satu persatu barang-barang kami lalu diturunkan dari atas bus. Aku yang terbiasa tugas dilapangan segera mencari tas ku dan siap untuk mengangkatnya ketika sebuah tangan menahan gerakanku. “ Biar aku saja, mbak.” Suara itu membuatku berbalik. Nampak Evan telah memegang tali tas ku lalu membawanya menuju kamar. Dalam hati aku merasa senang dan suprise dengan perhatian yang diberikan Evan. Aku makin kagum dengan solidaritas karyawan kantor cabang yang baru aku tempati. “ Letkkan disitu saja, Van. Makasih ya udah bawain tasku.” Kataku. Evan masih berdiri di sisi meja rias. Dia mengamati sekeliling kamar. Aku yang bingung hanya menatapnya. Dia lalu memeriksa colokan listrik, kabel tivi, menyalakan kipas angin lalu memutar tivi. Keluhan terdengar dari mulutnya saat siaran tivi tak jernih. Begitu juga dengan kipas angin. Sejak di on kan, tidak berfungsi sama sekali. “ Gimana sih ini kamar. Kok fasilitasnya amburadul begini? Ntar ya mbak, aku cari pemiliknya dulu.” Evan lalu keluar kamar. Aku sebenarnya tidak peduli dengan tivi atau dengan kipas angin. Bagiku asal ada tempat untuk merebahkan badan, itu sudah cukup. Terbiasa dilapangan membuatku tidak manja. Aku malah pernah tidak mandi selama tiga hari karena daerah tempatku bertugas tidak ada air bersih untuk mandi. Tidak lama kemudian Evan muncul dengan seorang anak muda. Dia membawa tivi dan kipas angin. Tivi yang ada dikamarku dikeluarkan, begitu juga dengan kipas anginnya. Benar saja. Saat tivi dinyalakan, gambarnya bagus. Kipas angin juga mulai berfungsi. “ Gimana, mbak? Udah nyaman kan? Kalo ada masalah, hubungi saya ya..” Aku terkekeh. Gaya Evan sudah mirip pelayan hotel. “ Iya, nanti aku hubungi.” “ Ok, selamat beristrahat ya, mbak. Saya kekamar dulu.” Ucapnya dengan senyum yang teramat manis. Aku takjub juga dengan sikap pemuda itu. Jika mengingat kondisi hatinya yang sedang terluka, rasanya luar biasa dia bisa tersenyum dengan sangat manisnya. Aku menutup pintu kamar lalu bersiap-siap untuk merebahkan badan. Tubuhku benar-benar remuk setelah sehari semalam hanya duduk dalam bus. Saat hampir terlelap, bunyi pesan singkat terdengar dari hapeku. Segera kubuka, ternyata Rio yang mengirim pesan. Udah dimana,sayang?kamu baik-baik saja kan? Aku tidak membalas pesannya tapi langsung menelpon. Rasanya rindu mendengar suaranya. Lelah yang aku rasakan tiba-tiba menghilang berganti rasa bahagia. Entah berapa lama kami saling melepas rindu, yang pasti saat tersadar aku mendengar Adzan subuh dari mesjid. Rupanya karena kantuk, aku langsung terlelap saat kami sedang berbincang. Aku lalu bangkit dari pembaringan menuju kamar mandi untuk berwudhu. Bersiap-siap melaksanakan sholat subuh. **** Pagi jam delapan tepat, rapat kecil kami adakan di kamar Salim. Aku sengaja memilih kamar itu, karena dari beberapa kamar yang kami tempati hanya kamar Salim yang paling luas. “ Pagi semuanya, kita rileks saja ya, jangan terlalu tegang.” Kataku sambil tersenyum. Wajah teman-teman tak lagi kuyu seperti semalam. Mereka kini nampak segar setelah mandi pagi. Apalagi dengan hantaran teh hangat dan kue dari pemilik penginapan. Makin ceria suasana pagi ini. “ Ok, kita mulai saja, ya. Begini teman-teman, aku tadi sempat berdiskusi dengan Salim. Ternyata ada kesalahan saat kita meeting di Makassar. Ada beberapa wilayah yang ternyata tidak sama dengan peta yang kita lihat. Karena itu pembagian kerja yang sudah di bentuk sebelumnya akan kita ubah.” “ Jadi gimana, mbak? Apa semua berubah?” Evi nampak cemas. “ Tidak semuanya. Hanya wilayah yang sebelumnya kita perkirakan rutenya mulus ternyata berdasarkan info dari Salim, ada beberapa yang tidak bisa ditempuh dengan jalur darat alias kita hanya bisa mencapainya dengan melewati laut. Karena itu bagian yang melewati laut, biar laki-laki saja yang mengerjakan. Rika dan Evi bisa tukaran dengan, Damar dan Agus. Dewi dan Mita tukaran dengan Farid dan Joko. Untuk yang lain aku kira sudah pas. Tidak perlu lagi di ubah.” Aku menyebut nama Farid tanpa menyadari perubahan wajah Dewi. Aku baru sadar beberapa menit kemudian ketika tanpa sengaja menatapnya. Wajahnya yang semula dihiasi senyum dan tawa kini berubah sendu. Tapi aku tidak mengerti mengapa dia terlihat murung. “ Bagaimana? Ada masukan atau kalian semua setuju?” Mereka serempak mengangguk. Kami kemudian berdiskusi untuk memantapkan kerja kami dilapangan. Selesai menggelar rapat, aku kembali ke kamar ketika Evan mengikutiku dari belakang. “ Mbak Febi, bisa minta tolong?” Panggilnya sementara aku membuka pintu kamarku. “ Ada apa, van?” Evan masih berdiri di dekat pintu. “ Apa saya bisa bareng mbak Febi ke lokasi?” “ Maksud kamu, bareng ke lokasimu?” “ Bukan. Seperti tugas-tugas sebelumnya kalau kami ke daerah, ada yang bertugas menemani supervisor di lokasi. Biasanya ketua tim yang menunjuk. Karena itu saya lebih dulu meminta izin sama mbak sebelum mas Salim menunjuk orangnya.” Aku mulai mengerti maksud Evan tapi ini diluar kebiasaanku. Aku terbiasa sendiri. Mendengarkan dia mengusulkan diri membuatku merasa aneh. Aku lalu duduk di pembaringan. Kupandangi sikapnya yang terlihat tegang seperti harap-harap cemas menanti keputusanku. “ Apa menurutmu Salim akan menunjuk orang lain?” Evan mengangguk cepat. “ Biasanya mas Salim akan menunjuk Rama.” “ Lalu mengapa sekarang kamu mencalonkan diri?” Evan terdiam beberapa saat. Dia seperti bingung menjawab pertanyaanku. “ Karena saya mau melindungi diri saya mbak.” Aku tersenyum walau tidak mengerti. Rasanya lucu mendengar jawaban Evan. “ Melindungi diri dari siapa? Apa ada orang yang mau mencelakai kamu?” tanyaku masih tetap tersenyum. “ Melindungi diri dari amarah. Kalau bersama mbak, saya berharap bisa lebih tenang. Sejak kita ngobrol di bus, saya merasa tenang. Saya takut karena akhir-akhir ini emosi saya tidak stabil.” “ Oke. Aku nggak pengen membahas ini lebih lama. Nanti saja kamu jelaskan masalah kamu. Jadi apa yang bisa aku bantu?” “ Ehm..mbak Febi ngomong langsung ke mas Salim kalau mbak udah nunjuk saya jadi pendamping mbak di lokasi.” Aku berdiri. Kudekati dan kutepuk pundaknya. “ Kamu tenang saja, ya. Nanti aku sampaikan. Oh, ya berarti mulai sekarang kita udah patner. Kamu bisa temani aku ke lokasi kan?” Evan terlihat senang. Dengan cepat dia berlari menuju kamarnya sementara aku meraih tas dan jaket lalu keluar dari kamar. Setelah menngunci pintu kamar aku melangkah menuju kamar Salim. Aku terpaku sejenak saat kulihat Dewi masih berada di kamar Salim. Dia menoleh sekilas melihatku. “ Saya kekamar dulu, ya mas Salim, mbak Febi.” Pamitnya lalu lewat didepanku. “ Apa aku tidak salah lihat, mas Salim? Kok Dewi kelihatan murung? Tadi pagi sebelum rapat dia masih tertawa, kok sekarang jadi sendu begitu?” tanyaku sambil melangkah masuk ke kamar Salim. “ Biasa mbak. Pasangan jiwanya terlempar jauh. Dia maunya sama-sama terus. Saya juga tadi kaget waktu mbak sebut nama Farid tapi saya setuju kok. Biar ketenangan tercipta. Coba mbak bayangkan kalau setiap hari, Evan melihat pemandangan yang membuat cemburunya sampai ke ubun-ubun. Bisa terjadi perang saudara.” “ Aku tadi bahkan nggak kepikiran ke sana. Oh, ya mas Salim..aku nunjuk Evan ya jadi partnerku. Katanya yang biasa nunjuk, mas Salim.” “ Oh, tidak apa-apa mbak. Mbak bisa nunjuk siapa saja.” Evan yang muncul di depan pintu membuatku berpaling. Tampilannya berubah. Dengan jaket dan kacamata hitam dia terlihat lebih keren. “ Sudah siap mbak?” tanyanya dengan semangat. Aku mengangguk lalu berdiri. “ Aku kelokasi dulu, ya mas Salim. Kalau ada info penting, cepat hubungi aku.” Kataku sebelum keluar dari kamar Salim. Di halaman depan kamar, Evan sudah duduk manis di atas motor yang khusus kami sewa selama berada di daerah ini. “ Saya suka balap loh, mbak. Jangan segan-segan meluk saya kalau takut.” “ Oh, ya kebetulan. Aku juga kalau naik motor selalu balap. Kita ketemu dong.” Aku tertawa lalu duduk di belakangnya. Kupasang helm yang diberikan Evan padaku. Saat motor berjalan tanpa sengaja pandangan mataku bertemu dengan Dewi yang kebetulan keluar dari kamarnya. Walau tersenyum, tatapan matanya terlihat aneh. Mustahil dia cemburu, pikirku. Evan bukan kekasihnya lagi. Tak ada alasan baginya untuk cemburu. *** Motor terus melaju di dalam kota. Siang hari pemandangan yang tampak sangat berbeda. Aku baru bisa melihat dengan jelas, ternyata begitu banyak penginapan yang kelihatan lebih menarik dari segi bangunan dari yang kami tempati. Sayang sekali malam kemarin kami tidak punya kesempatan untuk mencari yang lebih baik. Aku menyabarkan hati. Setidaknya lokasi penginapan yang kami tempati sekarang jauh dari kebisingan. Alam sekitarnya juga sangat asri. Ada aliran sungai yang menghadirkan suara-suara indah khas pedesaan. Semakin lama jalan yang kami lalui mulai tidak mulus. Perbaikan jalan trans dan jembatan membuat banyak kerikil dan pasir yang menyatu dengan tanah. Jika tidak hati-hati, batu dan debu yang beterbangan bisa mencelakakan. Terlebih saat kami melewati jalan tanah yang berlubang. Aku refleks memegang pinggang Evan karena nyaris terjatuh. “ Pegang saja pinggangku, mbak.” Teriak Evan. Walau risih aku akhirnya tidak melepaskan peganganku pada pinggangnya. Perjalanan terasa sangat melelahkan karena Evan tidak bebas untuk menjalankan motornya dengan kecepatan penuh. Beberapa kali dia mengerem mendadak karena tiba-tiba saja ada lubang yang meleset dari pandangannya. “ Hati-hati, Van. Ini bukan jalan tol.” Kataku bercanda. Dia tertawa. “ Nanti kita istrahat ya, mbak. Paling enak minum kelapa muda.” “ Oh,ya. Dimana? Kamu tahu tempatnya?kan kamu baru disini?” “ Mbak tenang saja. Banyak pohon kelapa berarti banyak kelapa muda.” Kami terus berbincang. Lumayan, agar kami melupakan jalan buruk yang kami lalui. Tak terasa setelah satu jam setengah perjalanan kami akhirnya tiba di lokasi. Lokasi perbukitan yang di sisi kanan nampak jurang dengan latar laut yang indah. Aku terpaku di sisi jurang. Sinar mentari yang menyengat tidak bisa mencegahku menatap keindahan di bawah sana. Keindahan laut dengan pantulan cahaya matahari. Laut yang terdiri dari warna biru. Beberapa lapisan nampak warna hijau. Berdasarkan info yang pernah aku dapatkan. Warna hijau menandakan laut disekitarnya lebih dalam. “ Mbak Febi, kita keatas yuk?” Evan menarik tanganku mengikutinya. Dia membawaku naik ke perbukitan yang lebih tinggi. “ Ayo!” tangannya bersiap meraih tanganku. “ Untuk apa kesana?” tanyaku bingung. Aku masih berdiri di pinggir bukit. Evan hanya tersenyum. Dia menarik tanganku dengan kuat hingga aku bisa menyusulnya ke atas perbukitan. “ Katanya mau makan kelapa muda? Ayo, tadi aku lihat disebelah sana ada bapak lagi turunkan kelapa. Kita beli saja. Kalau diberi gratis ya syukur.” Benar saja. Tidak jauh dari kami, nampak anak kecil sedang memungut kelapa. Evan mendekati anak kecil itu, entah apa yang dia ucapkan. Anak kecil itu mengangguk, lalu berteriak memanggil lelaki yang tengah memanjat kelapa. Tidak lama, berjatuhan kelapa hijau. Anak itu berlari memungutnya lalu menyerahkan sebutir kelapa dan sebilah parang pada Evan. Dengan semangat Evan langsung mengupasnya. Hanya sedikit, dia hanya membuat lubang kecil agar kami bisa meminum airnya. Aku gembira melihat isi kelapa muda yang mengundang selera. Evan memberikan kelapa padaku. Kami lalu bergantian minum air kelapa muda sambil tertawa. “ Hati-hati bajumu, Van. Jangan terkena air kelapa, bisa meninggalkan noda.” Aku mengingatkan. Tapi Evan terlanjur senang. Dia lalu membelah kelapa. Isi kelapa yang tebal membuatku segera mencolek dengan tanganku. “ Pake ini.” Evan memberi irisan kulit kelapa. Dia memperlihatkan contoh agar aku bisa mengikutinya. Ternyata ada teknik alami untuk menyerut isinya jika tak ada sendok. “ Masih mau?” tanya Evan ketika sebutir kelapa telah kami habiskan berdua. Aku mengangguk sambil tersenyum malu. Saat itulah jemari Evan menyentuh ujung bibirku. Aku yang kaget hanya bisa terpaku. Kurasakan seperti ada aliran listrik yang menyetrum seluruh tubuhku walau sekejap. Sementara dia malah tersenyum seolah itu tindakan yang biasa. “ Ada kelapa nempel di bibir, mbak.” Ucapnya lalu berdiri mendekati anak kecil itu lagi. Dia kembali dengan sebutir kelapa. “ Sayang sekali disini tidak ada sedotan ya,mbak. Coba kalo ada. Kita bisa meminum air kelapa ini sama-sama. Romantis seperti di sinetron dan filem-filem.” Aku hanya tertawa padahal dalam hati aku mulai memperhatikan kelakuannya. Aku merasa sikap Evan mulai terasa aneh. Sikapnya seolah-seolah aku ini adalah kekasihnya. Aku tidak ingin geer tapi hatiku seperti membenarkan. Setelah puas menikmati kelapa muda. Kami akhirnya fokus ke pekerjaan. Saat melangkah menuruni bukit, beberapa kali aku hampir terjatuh dan Evan yang sigap menahan tubuhku. Jika saat kami berangkat tadi aku merasa tenang, maka yang terjadi sekarang adalah rasa gugup yang kadang membuatku salah tingkah. Jantungku entah mengapa berdegup sangat cepat. Terutama ketika Evan menggenggam tanganku atau menyentuh bahuku. Aku berusaha mengembalikan sikapku yang normal, namun tetap saja gagal. Sikap Evan yang melindungi dan begitu menjagaku membuatku tersanjung. Sudah lama sekali aku tidak menerima perlakuan seperti itu. Mungkin karena sikapku yang mandiri, jadi tak ada teman atau karyawan yang berani bersikap seperti yang Evan lakukan. Tapi Evan memang berbeda. Walau aku menolak, dia dengan pandai membujukku. Dan dengan sikapnya yang wajar hingga terlihat seperti hal yang biasa. Entah mengapa aku akhirnya menikmati perhatiannya. Aku senang diperlakukan seperti itu. Kami menikmati kebersamaan kami hingga sore menjelang. Saat pulang aku tak ragu lagi memeluk pinggangnya. Bukan karena aku yang menaruh tanganku, melainkan karena Evan yang menarik tanganku hingga memeluk pinggangnya. “ Begini lebih asyik. Boncengan kok seperti musuhan. Orang bakal mengira kita pasangan yang mau cerai kalau jarak kita terlalu jauh.” Kata-katanya membuatku terbahak. “ Kamu bisa saja, Van. Pikiranmu kok sampai sejauh itu..hahahaha…” Aku terus tertawa hingga Evan menjalankan motor. Perjalanan pulang terasa berbeda. Aku merasakan Evan sengaja memperlambat tempo kepulangan kami. Dia menjalankan motor dengan perlahan sekalipun di jalan yang mulus. “ Mbak, aku senang dan bahagia hari ini. Padahal ini hari pertama kita bersama.” Ucapan Evan membuatku tersadar dari kantuk. Kebiasaan buruk yang paling aku takuti adalah aku suka tertidur jika sedang berboncengan. Aku pernah terjatuh dari motor karena tertidur. “ Ehm..kenapa ?” tanyaku. “ Aku merasa damai bersama mbak. Bagaimana kalau aku jatuh cinta sama mbak? Mbak mau kan menerimaku?” Kata-kata yang meluncur cepat dari Evan membuat terdiam. Aku tidak bisa mencari balasan kata selain tersenyum. “ Mbak? Mbak tidak merasa bahagia hari ini?” Aku mengangguk. “ Aku bahagia. Jujur aku senang. Pertama kalinya aku benar-benar bahagia.” Tiba-tiba Evan menghentikan kendaraannya. Dia berbalik lalu mengecup keningku. Semua berlangsung cepat hingga aku merasa seolah sedang bermimpi…. ( Bersambung ) Cerita sebelumnya : Pelangi Cinta (#1) ____________________________________________ DESA RANGKAT menawarkan kesederhanaan cinta untuk anda, datang, bergabung dan berinteraksilah bersama kami (Klik logo kami) 13018350631199293075

Tidak ada komentar:

Posting Komentar