khohar

khohar
naruto

khohar

khohar
lucu

Minggu, 18 Desember 2011

pelangi cinta 5

Pelangi Cinta (#5) FIKSI | 29 November 2011 | 14:23 131 4 13225506751040437068 Kesedihan yang awalnya akan menemani hari-hariku ternyata tak berumur panjang. Aku akhirnya bisa tersenyum kembali bersama kehadiran Evan di pantai itu. Tak ada kebahagiaan yang bisa membuatku tersenyum selain melihat senyumnya dan tatapannya yang penuh kasih. Kami kembali seperti saat pertama kali mulai bekerja. Namun kali ini berbeda, Evan telah tahu apa yang tersimpan dalam hatiku. Sesuatu yang diharapkan sejak awal. Sayang sekali, aku akhirnya harus menyerah dan mengakui kalau rasa yang ada dalam hatiku adalah miliknya. Tapi hari ke tiga sejak aku resmi menyatakan perasaan pada Evan, terjadi hal diluar perkiraanku. Entah aku mimpi apa semalam, pagi hari saat aku membuka pintu, Rio muncul dengan senyum kerinduan dan langsung memelukku. “ Aku menyusulmu, sayang. Penasaran dengan keindahan laut yang selalu kamu ceritakan.” Ucapnya riang lalu melangkah masuk ke kamar membawa tas kecilnya. Aku yang tak menyangka dirinya akan datang tiba-tiba hanya bisa terpaku. “ Kamarmu lumayan. Ehm, pantas kamu betah disini, suasananya benar-benar sejuk.” Aku bergerak ke depan cermin, mencoba melihat wajahku. Apakah aku tampak pucat dan gugup? Mengapa Rio muncul tiba-tiba tanpa memberitahu aku? “ Kenapa kamu nggak ngomong mau kemari? aku bisa membatalkan kerja hari ini kalau tahu kamu bakal datang.” Rio yang berbaring langsung mengangkat tangannya. “ Nggak usah batal kerja. Ntar aku ikut kamu ke lokasi. Liburku tidak lama, hanya 7 hari. Mungkin hanya hari ini dengan besok aku bisa temani kamu. Tiga hari lagi aku sudah harus ada di bandara.” Pikiranku berkecamuk saat kulihat binar mata Rio yang begitu bersemangat. Bagaimana dengan Evan? Semoga dia bisa menerima kehadiran Rio tanpa rasa cemburu. Karena gugup aku tak sadar kalau sejak tadi belum membalas sms dari Evan. Aku baru menyadarinya saat hapeku dalam genggaman Rio. Cepat ku raih hapeku dari tangannya. Tentu saja dia terkejut melihat sikapmu. “ Kenapa sayang? Apa ada rahasia?” aku menggeleng lalu menekan tuts hape. “ Bukan, tadi aku lupa membalas pesan dari teman.” Jawabku tanpa memandangnya. Syukurlah Rio tidak bertanya lagi. Dia bangun dari pembaringan lalu menyalakan tivi, mencari channel tivi yang menarik. Tayangan berhenti pada acara berita, dia asyik memperhatikan liputan berita yang disajikan stasiun TV yang terkenal khusus membawa acara berita. “ Sayang, udah siap?” jantungku hampir copot saat seseorang menegur persis didekat telingaku. Aku menoleh, Rio juga ikut mendongak. Tanganku yang memegang hape jadi gemetar karena gugup. Aku berdoa semoga Rio tidak mendengar ucapan Evan. Suara tivi yang lumayan besar kuharap bisa menyelamatkan aku dari rasa curiga Rio. Evan mundur setelah melihat ada seseorang dalam kamarku. Dia belum mengenal Rio namun dari sorot matanya, aku tahu dia mulai curiga. “ Eh, maaf. Sudah siap? Bisa berangkat sekarang?” “Iya, eh..Evan..kenalkan ini Rio tunanganku.” Kataku memperkenalkan Rio pada Evan. Rio berdiri lalu mengulurkan tangan. Evan nampak sungkan walau tetap mengulurkan tangannya. Aku yang berdiri di dekat mereka berdua makin cemas. Kuperhatikan dua orang ini secara bergantian. Apa kira-kira yang ada dalam benak mereka. Apakah Rio merasa curiga? “ Rio.” Ucapnya dengan senyum menatap Evan. “ Evan.” Balas Evan dengan senyum manis pula. “ Ehm, kita berangkat sekarang saja, Van. Sayang, siap-siap kita berangkat sekarang.” Evan mengangguk lalu keluar menuju motornya. Kuraih tas ku lalu menanti Rio mengambil tas nya. “ Tempatnya jauh, ya?” tanya Rio saat aku mengunci pintu kamar. Dia memperhatikan Evan yang duduk diatas motornya. “ Lumayan jauh.” “ Dia yang menemani kamu selama disini?” tanya Rio lagi. Arah matanya tetap tertuju ke Evan. “ Iya. Tiap ke lokasi aku bareng sama dia. Yuk..” ajakku. Semula aku berniat untuk menyewa motor lagi. Syukurlah ada teman yang tidak turun ke lokasi hingga motor bisa kami pinjam. Aku akhirnya duduk manis di belakang Rio, sementara Evan mengikuti kami dari belakang. Aku jadi kikuk dan gugup. Pikiranku tetap tertuju pada Evan. Mengingat kecemburuannya pada Farid, akankah rasa itu kembali saat dia melihatku berboncengan dengan Rio? Hari ini berlalu dengan suasana yang menurutku tidak nyaman. Saat kami kembali ke penginapan, wajah Evan murung. Dia memarkir motor lalu masuk ke dalam kamarnya. Sementara aku dan Rio, terus berbincang di kamar. Setelah mandi sore, Rio bahkan mengajakku berkeliling kota dengan naik motor. Saat menikmati pemandangan sore di pelabuhan, hapeku berbunyi sms masuk. Dari Evan. Jangan cemaskan saya, saya gak apa-apa “ Sms dari siapa?” Rio tiba-tiba merangkulku. “ Dari teman.” Kataku gugup. Aku batal mengetik pesan balasan untuk Evan. Ku raih botol minuman dari tangan Rio. Aku butuh sesuatu untuk meredakan kecemasanku. Aku tahu saat ini kondisi Evan jauh dari kata baik. Walau dia mengirim pesan seolah kehadiran Rio tidak berpengaruh untuknya, namun aku yakin dia sedang cemburu. Dia bisa saja berkata-kata dengan bijaksana, namun wajahnya tidak mencerminkan itu. Murung dan kusut saat kami kembali dari lokasi, sudah menjadi gambaran hatinya saat ini. “ Gimana rencana pernikahan kita? Kamu selalu gak bisa di ajak bicara kalau di telpon. Pagi kamu sibuk, malam udah capek. Apa masih sesuai rencana? Kembali dari sini, kita langsung mengurus semuanya. Kamu sudah janji ini tugas terakhir keluar daerah.” Rio menatapku sambil menyentuh lembut tanganku. Ucapannya membuatu tersadar ada rencana pernikahan yang menunggu kami. “ Kalau sesuai tanggal, maka gedung yang sudah aku pesan bisa kita pakai. Aku sudah menghitung jadwal kamu ada di Jakarta. Aku bisa saja meminta keluargaku untuk mengurus semuanya, tapi rasanya lebih nyaman kalau kita yang memilih. Gimana? Kamu setuju kan?” “ Apa harus secepat itu?” “ Kenapa sayang? Bukankah pertunangan kita sebagai langkah awal untuk pernikahan? apa kamu ingin menunda dulu?” Aku tak menjawab. Kehadiran Evan saat ini membuatku tak bisa memberi keputusan. Rio membelai rambutku. “ Aku tidak akan memaksa jika masih ada keraguan dihatimu. Aku mungkin hanya akan sedih jika tahu tunanganku ragu menikah denganku.” “ Aku minta waktu sebulan untuk istrahat. Biarkan aku berpikir. Kamu mengerti kan sayang?” aku membalas menggenggam jemarinya. Terlihat Rio memaksa diri untuk tersenyum. Andai dia tahu keraguan datang menyerangku saat Evan hadir mengisi hari-hariku. Bahkan saat bersamanya sekarang ini, wajah Evan yang sendu membayang di pelupuk mataku. Aku benar-benar bingung dengan perasaanku. Meski baru mengenal Evan, namun sepertinya dia sudah menjadi bagian diriku sejak dulu. Aneh, bukankanh perasaan itu seharusnya kunikmati bersama Rio, mengapa justru Evan. Anak muda yang belum lama kukenal? ** Ke esokan harinya Rio tidak menemaniku ke lokasi. Dia merasa lelah karena seharian menemaniku kemarin. Sebagai toleransi, aku hanya akan ada dilokasi hingga tengah hari, setelah itu kembali untuk menemaninya. “ Mbak harus menentukan pilihan. Dia atau saya..” Evan tak menunggu waktu untuk berbicara. Kami baru beberapa meter meninggalkan penginapan. “ Evan..sekarang ini aku sedang bingung..” kataku mencoba mengalihkan perhatiannya. “ Saya juga bingung. Beberapa hari yang lalu Dewi menanyakan keseriusan saya untuk kembali padanya. Dia sadar hubungannya dengan Farid tak bisa di pertahankan. Banyak hal yang membuatnya menyesal dan ingin hubungan kami kembali seperti dulu.” Aku termenung memikirkan ucapan Evan. “ Mbak Febi harus memutuskan. Dewi juga mendesakku. Semalam saya memikirkan, diantara kita harus ada keputusan secepatnya. Terus terang sekarang ini, perasaan saya lebih berat ke mbak Febi. Tapi saya juga gak mungkin melepaskan kesempatan bersama Dewi. Sejak dulu saya menginginkan hubungan kami kembali utuh. Jika mbak memutuskan ingin bersama saya, maka saya akan meninggalkan impian saya bersama Dewi.” Kata-kata Evan terus terngiang di pikiranku. Aku harus memilih siapa? Apakah aku harus memilih Rio dan menikah dengannya? Tapi rasanya aku tidak siap untuk kehilangan Evan. Satu hal yang pasti, jika aku memutuskan menolaknya, maka Evan akan memilih Dewi dan melupakan aku. Aku makin bingung. Haruskah aku memutuskan ikatan pertunangan dengan Rio? Bagaimana cara mengatakan padanya? Dan apakah aku siap jika dia tidak sanggup menerima kenyataan kalau akhirnya aku ingin perpisahan? Aku benar-benar tidak sanggup memikirkan semua ini dalam waktu bersamaan. Akhirnya karena bingung, aku keluar dari penginapan saat jam menunjukkan pukul 12 malam. Rio tidur di kamar lain. Aku berjalan sendiri menuju teras. Duduk dibawah keremangan lampu. Aku termenung mencoba menenangkan diri. Setengah jam kemudian aku masuk lagi ke kamar. Berusaha untuk tidur meski mataku tak bisa terpejam hingga adzan subuh terdengar. ( bersambung ) Cerita sebelumnya : 1. Pelangi Cinta 1 2. Pelangi Cinta 2 3. Pelangi Cinta 3 4. Pelangi Cinta 4 ___________________________________________________ DESA RANGKAT menawarkan kesederhanaan cinta untuk anda, datang, bergabung dan berinteraksilah bersama kami (Klik logo kami) 13161754563009622 Share * La

Tidak ada komentar:

Posting Komentar